Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sulitnya Mengatasi Problematika Korupsi di Pemerintahan

6 Oktober 2023   13:23 Diperbarui: 6 Oktober 2023   13:31 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di gedung KPK. (Sumber gambar: Detikcom/Grandyos Zafna)

Jagat maya digegerkan dengan kabar penangkapan tersangka korupsi oleh komisi antirasuah baru-baru ini. Yang lebih mengejutkan, tersangka korupsi di Kementerian Pertanian ini menyeret nama seorang menteri petahana sekaligus kader Partai Nasdem, yaitu Syahrul Yasin Limpo. Dalam sejarah pemerintahan Presiden Joko Widodo paruh kedua (2019-24), tercatat banyak sekali menteri yang terseret kasus korupsi dan tindak pidana penyuapan. 

Misalnya, ada Juliari Batubara yang diciduk tahun 2020 karena penyalahgunaan dana bantuan sosial yang seharusnya diserahkan kepada orang-orang dengan kesulitan ekonomi ketika pandemi, namun digunakan untuk kekayaan seorang kader PDI Perjuangan sekaligus Menteri Sosial yang menjabat antara tahun 2019-20 ini. Untuk kerugian negara sendiri akibat penyelewengan dana ini sangat fantastis, yaitu mencapai 14 milyar rupiah. Tak sampai di situ, Edhy Prabowo (mantan Menteri KP 2019-20 dan kader Gerindra) pun ikut diciduk tak lama setelah Juliari, tepatnya di bulan November 2020. Ia kemudian divonis 5 tahun penjara karena kasus korupsi ekspor benih lobster yang menjeratnya. Dan, yang terjadi pada tahun 2023 ini, adalah penangkapan Menkominfo Johnny G. Plate terkait dengan kasus korupsi BTS yang membuat pemerintah rugi 8 trilyun rupiah. 

Tak hanya di level pusat, di level pemerintahan daerah pun jamak ditemui korupsi. Mulai dari level lurah/kades, camat, walikota/bupati, hingga gubernurnya, korupsi bukan merupakan barang baru. Korupsi seolah-olah sudah menjadi penyakit yang sistematis selama berabad-abad dan sulit untuk dihilangkan dari mindset seorang aparatur negara. Sudah banyak perangkat pemerintahan daerah yang terciduk komisi antirasuah dalam kurun waktu 2022-23, terakhir ketika mantan walikota Bima yang pernah menjabat antara tahun 2018-23 ditangkap KPK karena dugaan korupsi barang dan jasa. 

Munculnya berita penangkapan tersangka korupsi yang menjamur akhir-akhir ini membuktikan bahwa Indonesia sulit membenahi birokrasi pemerintahan yang sudah terjangkit sebuah penyakit tak kasat mata bernama penyakit korupsi dan terkesan setengah hati untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi, baik penangkapan tersangka korupsi, ancaman pidana tipikor, hingga pencegahan korupsi. Apalagi, pemberlakuan UU KPK hasil revisi 2019 melemahkan semangat pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda reformasi 1998. 

Lalu, apa saja bentuk ketidakseriusan pemerintah dari masa ke masa dalam upaya pemberantasan korupsi?

Adanya izin penyadapan yang dinilai memperlambat penyelidikan (UU KPK revisi 2019)

Salah satu pasal yang kontroversial dalam hasil revisi UU KPK pada tahun 2019 adalah Pasal 12 tentang penyadapan. Dalam sub-pasal 12B, dijelaskan bahwa sebelum melakukan penyadapan percakapan, penyidik harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dewan Pengawas KPK. Setelah penyidik memberikan permintaan tertulis kepada Dewas KPK untuk meminta izin melakukan penyadapan, barulah kewenangan untuk menyadap percakapan telepon legal. 

Bayangkan saja, apabila dianalogikan dengan polisi dan begal, sangat tidak logis apabila polisi meminta izin terlebih dahulu untuk menangkap begal yang sudah terbukti merampas motor korban. Yang ada, si begal itu malah kabur dengan mudah karena polisi tidak memiliki izin untuk menangkap begal. Dengan demikian, hal ini menjadi sebuah aib bagi penegak hukum karena gagal mendapatkan tersangka dengan cepat. Hasilnya, bisa saja begal incaran polisi itu sama dengan Harun Masiku.

Ancaman pidana yang terlalu ringan

Dalam UU Tipikor no. 20 tahun 2001 (perubahan atas UU Tipikor 1999) memang diatur berbagai tindak pidana korupsi (penyuapan, korupsi, gratifikasi, dan jenis-jenis lainnya) namun dengan ancaman pidana yang lebih ringan dan tak sebanding dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Misalnya, dalam pasal 6, seorang hakim yang tidak memberi putusan sesuai ancaman pidana yang berlaku dalam KUHP dipidana 3 tahun paling singkat dan paling lama 15 tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun