Dunia pendidikan di Indonesia saat ini berada dalam zona merah. Jagat maya dihebohkan dengan kejadian-kejadian di luar nalar, misalnya ada kasus anak SD di Gresik yang dicolok matanya menggunakan tusuk bakso karena tidak mau memberi uangnya kepada si kakak kelasnya yang menginjak kelas 6 SD.
Hingga seorang guru di Demak yang dibacok muridnya sendiri hanya karena masalah sepele: nilai UTS-nya yang di bawah standar kelulusan (dapat dipastikan nilainya di bawah angka 60).Â
Padahal, ketika dekade sebelumnya (80-90an), kasus ini terbilang langka. Mengingat pada masa itu, guru adalah seseorang yang harus dihormati meskipun gaji guru saat itu sangat rendah dibandingkan gaji karyawan swasta.Â
Di masa Orde Baru, gaji guru hanya mencapai ratusan ribu. Jika dibandingkan dengan gaji guru di zaman sekarang, masih lebih beruntung gaji guru saat ini walaupun hanya guru yang sudah diangkat menjadi guru tetap yang dapat merasakan dampaknya.Â
Yang menjadi pertanyaan yang akan dibahas tuntas dalam artikel ini: mengapa guru seolah-olah tidak ada harganya sama sekali sehingga guru ibarat sampah di mata anak muridnya dan tidak dianggap sebagai 'orang tua kedua di sekolah'? Mengapa justru para murid semakin beringas sampai-sampai punya niat jahat untuk membacok gurunya sendiri?Â
Masalahnya terletak pada pembentukan karakter anak, perkembangan teknologi yang sedemikian masif, dan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai.Â
Dalam pembentukan karakter anak, orang tua memegang peranan penting dalam menentukan arah dari si anak itu.Â
Pola asuh orang tua juga memegang peranan dalam membentuk kepribadian anak. Apabila anak cenderung dikekang, anak akan tidak bisa berkembang dan tak mampu menggali potensinya lebih lanjut.Â
Begitupula jika anak dibiarkan dan dimanja, justru hal ini juga akan mengakibatkan kurangnya penghargaan sang anak terhadap orang lain, termasuk gurunya sendiri. Gurunya malah dianggap seperti temannya sendiri yang 'halal' untuk di-bully dan menjadi sasaran pelampiasan muridnya sendiri.Â
Apalagi, mereka hidup di zaman yang di mana, gempuran teknologi dan informasi semakin masif. Mereka semakin bergantung pada teknologi dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek pendidikan.Â
Penggunaan teknologi informasi yang sangat menjamur tersebut malah menyulitkan pengendalian dari orang tua dan institusi pendidikan sehingga generasi tersebut (generasi Z) dapat dianggap sebagai 'generasi yang manja' dan 'generasi serba instan'Â karena ketergantungannya terhadap teknologi.Â
Keranjingan teknologi seperti ini justru menjadi malapetaka karena akan menimbulkan kecanduan gadget yang berakibat kurangnya penghormatan terhadap guru.
Pada zaman dahulu, ketika guru sedang menjelaskan, semua murid memperhatikan gurunya dengan baik. Tak dapat terbayang apabila seorang murid mengobrol pada teman sebangku jika proses belajar-mengajar sedang dilaksanakan.Â
Entah penghapus melayang atau gamparan dari gurunya siap menanti sang murid. Kalaupun bisa mengadu ke orang tuanya, justru laporannya itu tak digubris sama sekali.Â
Di zaman sekarang, guru malah semakin permisif dengan perbuatan semacam itu, karena ada lembaga-lembaga 'pembela hak asasi manusia' yang siap menampung laporan dari sang orang tua murid jika tamparan melayang dari sang guru mengenai wajah muridnya sendiri atau dibentak-bentak karena merokok di dalam kelas.Â
Sang guru bisa jadi disamakan dengan penjahat seksual dan mendekam di jeruji besi apabila melakukan hal tersebut.Â
Yang kedua, sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai dan material tanpa disertai dengan pendidikan tata krama membuat murid-murid justru berani untuk melakukan sesuatu yang tak terpuji baik di dalam maupun luar sekolah, meskipun aksi-aksi mereka di luar nalar.Â
Sistem pendidikan di Indonesia sendiri apabila dibandingkan di Finlandia maupun negeri-negeri Islam seperti Arab Saudi dan Mesir, bagaikan air dan api.Â
Apabila di Finlandia pendidikannya berbasis pada keahlian dan di Arab Saudi maupun Mesir berkutat pada pengembangan agama Islam, di Indonesia sarana pendidikan malah digunakan semata-mata untuk mengejar nilai dan akreditasi.Â
Sistem semacam ini justru membahayakan generasi muda Indonesia, yang seharusnya dididik dengan tata krama dan nilai-nilai agama, malah menjadi beringas di dalam dan luar sekolah. Bahkan ada yang tak segan untuk melakukan joget pargoy di dalam kelas, seolah-olah guru hanya menjadi bahan olokan muridnya.Â
Sebenarnya, hal-hal fundamental seperti pola asuh hingga sistem pendidikan bisa dibenahi secara radikal, bukan hanya gonta-ganti kurikulum.
Sebagai contoh memaksa murid menggunakan baju adat yang mahal harganya, wajibnya Pramuka padahal murid-murid seusianya harus mengikuti berbagai macam les, hingga proyek unfaedah yang memberatkan muridnya sendiri (P5), dengan bahasa-bahasa yang halus seperti 'penguatan profil pelajar Pancasila' dan 'menanamkan nasionalisme pada diri para murid'.Â
Sistem pendidikan berbasis agama maupun tata krama perlu diperkuat di samping mengajarkan ilmu-ilmu umum. Kalau perlu, aspek seperti itu perlu dimasukkan ke dalam kurikulum yang ada saat ini.Â
Mengenai pola asuh orang tua, sebaiknya orang tua tidak mengekang maupun memanjakan anak agar anak tumbuh menjadi anak yang baik dan selalu menaati aturan dari Tuhannya.Â
Selain itu, anak bisa mengembangkan diri sesuai minat dan bakatnya tanpa gangguan dari orang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H