Senja semakin memerah, sepertinya matahari malu-malu pulang ,angin berhembus seolah ingin membisikan desahan pergantian malam. Suara adzan maghrib seolah ingin mengabarkan bahwa Tuhan masih ada disetiap nadi kehidupan kita meski kadang-kadang tersamar oleh materialisme yang hampir mencabik nafas-nafas makhluk keparatnya yang bernama manusia.
Hegemoni transcendental  komersialisasi kesucian dan kebenaran yang  didengungkan pelacur-pelacur politik dan anjing-anjing penguasa yang selalu kelaparan. Agama sudah menjadi komoditas jualan ,seperti  air dalam gallon bermerek,yang merasa haus wajib membeli ,entah itu wahabi,syiah,suni,NU,Muhammadiyah,Tarekat,islam,Kristen,hindu,budha atau dalam kemasan yang lainya,semuanya sama menawarkan kesejukan bathin,hidup sempurna dan masuk surga.
Tuhan yang katanya agung pun kini sudah seperti makanan ringan dalam kemasan yang dijajakan para penjual ayat-ayat suci di negeri ini,ustad,buya,kiyai,pendeta,rahib dan entah apapun itu namanya seolah merupa sebagai sales yang dapat komisi setelah menawarkan jualanya.
Makhluk serendah apakah yang berani menguangkan kesucian,mengkomersialisasikan kebenaran,memotong-motong ayat suci demi kekuasaan,mengkorup kitab kebenaranya sendiri ?.
Aku tidak tahu mengapa lidah ku kelu ,ku tak mampu merapal kembali atau entah Karena aku muak terhadap kebenaran yang dijadikan ajang hukum rimba post modern para manusia kera ini pasca evolusi Darwin, maksudku otak mereka ini yang meng kera kini.
Kini entah siapa Musa entah siapa Firaun,siapa Ibrahim siapa namrudnya,siapa Muhammad dan siapa Abu jahal nya, semuanya terasa bias diatas sana,benar dan salah ahanya menjadi komoditas kepentingan kelompok-kelompok dan bendera-bendera.
Tuhan aku bertanya ?
Pun Petruk pun berlalu pergi menyudahi doanya kepada Tuhan setelah solat maghrib di musholla kecil sumbangan DEPAG Negara tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H