Mohon tunggu...
Prima Trisna Aji
Prima Trisna Aji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Spesialis Medikal Bedah S3 PhD Lincoln College University Malaysia

Dosen Spesialis Medikal Bedah S3 PhD Lincoln College University Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kecemasan pada Pasien Jantung Koroner yang Akan Dilakukan Tindakan Kateterisasi Jantung

26 Februari 2022   19:29 Diperbarui: 26 Februari 2022   19:36 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu kondisi yang melibatkan jantung dan pembuluh darah, dimana terjadi penurunan aliran darah pada otot jantung. Acute coronary syndrome (ACS) merupakan bagian dari PJK. 

ACS merupakan suatu kondisi dimana adanya gangguan pada perfusi darah ke jantung, yang dapat disebabkan karena penyumbatan arteri koroner sebagian ataupun total pada satu atau lebih pembuluh darah koroner. 

Sumbatan arteri koroner dapat terjadi karena pecahnya plak aterosklerosis atau adanya trombosis arteri (parsial atau total). ACS meliputi ST-elevasi miokard infark (STEMI), non-ST elevasi miokard infark (NSTEMI) dan angina tidak stabil (UA).

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia. Data European Society of Cardiology Guideline (2018) menyebutkan bahwa PJK berkontribusi terhadap kematian sebesar 46% dari 17,5 juta jiwa (Ibanez & James, 2018). 

Hal ini mencerminkan 31% kematian secara global, dimana lebih dari 75% terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kejadian ini diperkirakan akan meningkat menjadi 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (WHO, 2016).

Penyakit jantung koroner juga masih menjadi penyebab kematian utama dan meningkat seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup penduduk Indonesia, terjadi peningkatan 10,5 % pada tahun 2006 sampai 2016 yaitu 5,9 juta menjadi 6,52 juta. 

Perubahan gaya hidup serta adanya penyakit komorbid seperti diabetes melitus dan hipertensi berkontribusi terhadap peningkatan kejadian ini (Sunjaya, 2018). Sebanyak 80% kematian disebabkan oleh acute coronary syndrome (ACS) dan stroke (CDC, 2013). 

Acute Miokard Infark (AMI) merupakan jenis ACS yang menjadi penyebab kematian dan kesakitan yang paling banyak terjadi di seluruh dunia (GBD, 2017; White & Chew, 2017; WHO, 2017). 

Prevalensi penyakit arteri koroner di Indonesia menurut Data Riset Kesehatan Dasar (2018) adalah 1.01729 juta orang. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 186.000 orang (Kemenkes RI, 2018).

Manifestasi klinis yang sering muncul pada pasien ACS dalam kondisi akut yaitu nyeri dada. Nyeri dada yang dirasakan oleh pasien dengan ACS digambarkan dengan rasa tertekanan atau terbakar dan menjalar ke lengan kiri, leher, rahang dan punggung. Selain nyeri dada, manifestasi klinis laninnya adalah dispnea, takikardia, mual, muntah, kecemasan atau kecemasan, dan berkeringat (Hala, et al 2018).

Penatalaksaan secara cepat dan tepat pada pasien ACS akan mempengaruhi prognosis dan derajat kesehatan pasien. Perawat memiliki peran utama dalam memfasilitasi dan memberikan perawatan segera pada pasien ACS. 

Perawat juga yang akan mengetahui dengan segera jika pasien mengalami penurunan kondisi, memberikan dukungan psikososial, serta memberikan perawatan secara holistik. Asuhan keperawatan secara holistik diperlukan dalam mengelola pasien ACS, karena seseorang yang didiagnosis ACS dan menjalani perawatan untuk kondisinya akan muncul masalah bio-psiko-sosial.

Salah satu teori keperawatan yang diterapkan dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien ACS selama praktek residensi adalah Model Adaptasi Roy. 

Diharapkan dengan menerapkan model adaptasi roy dalam proses keperawatan akan menghasilkan respon positif dalam adaptasi pasien yang mencoba mengatasi masalahnya. Dengan cara ini, pasien dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi kesehatannya dan dapat bersikap responsif selama proses perawatan berlangsung sehingga diharapkan akan didapatkan derajat kesehatan yang optimal.

Model Adaptasi Roy merupakan teori adaptasi dan model interaksi yang menitikberatkan pada interaksi antara manusia dan lingkungan sebagai dasar model konseptual keperawatan. Model Adaptasi Roy dikembangkan pada tahun 1960 oleh Suster Callista Roy (Fawcett, 2005). 

Proses fisiologis (subsistem regulator) serta proses kognitif dan emosional (subsistem kognator) berinteraksi secara holistik untuk menjaga integritas individu serta mendorong adaptasi dan pertumbuhan individu. Subsistem regulator dan kognator merupakan proses internal dan tidak dapat diamati secara langsung, sehingga subsistem ini disebut sebagai mode adaptif (mode fisiologis, mode konsep diri, mode fungsi peran, dan mode saling ketergantungan) (Roy, 2008).

Berdasarkan Model Adaptasi Roy, 'pasien ACS' adalah individu yang mengalami ACS; 'Lingkungan' adalah lingkungan individu yang sedang mengalami ACS, terdiri dari rangsangan fokus, rangsangan yang mempengaruhi dan rangsangan potensial. 'Kesehatan' adalah pulihnya kondisi seseorang setelah mengalami ACS dari keadaan tidak seimbang ke keadaan seimbang. 

'Perawat' adalah orang yang mendukung pasien dalam empat bidang adaptif melalui asuhan keperawatan yang diberikan, yang mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keterampilan adaptasi, serta berkontribusi terhadap kesehatan pasien dengan meningkatkan interaksi lingkungan. 

Pasien ACS dapat menunjukkan perilaku koping negatif seperti ketidaknyaman, gelisah, perilaku depresi dan berpusat pada penyakit (Kavradim, et al. 2019). Peningkatan adaptasi memungkinkan pasien untuk dapat kooperatif dengan perawatan yang diberikan selama di rumah sakit, untuk mendapatkan kesehatannya kembali (Karmali, et al 2014; Ahyana, et al 2013).

Asuhan keperawatan pada proses residensi ini tidak hanya menerapkan teori keperawatan dalam proses keperawatannya. Dalam memberikan intervensi keperawatan, juga didasarkan pada evidence based practice (EBP). Evidence based practice dalam keperawatan merupakan integrasi bukti penelitian, keahlian klinis dan preferensi pasien. 

Pendekatan pemecahan masalah pada praktik klinis ini mendorong perawat untuk memberikan intervensi keperawatan pada pasien secara individual. Dengan penerapan EBP diharapkan dapat memberikan outcome yang lebih baik pada pasien, sehingga akan mengurangi beban perawatan kesehatan.

Evidence Based Nursing Practice (EBNP) yang diterapkan pada pasien ACS selama praktek residensi ini adalah pemberian terapi murotal Al-quran untuk mengatasi kecemasan pada pasien akan menjalani prosedur PCI.

PCI merupakan salah satu prosedur utama dalam pengelolaan pasien ACS, yang bertujuan untuk revaskularisasi arteri koroner yang mengalami sumbatan. Sekitar 80% pasien yang didiagnosis dengan infark miokard dilakukan tindakan PCI setelah diagnosa ACS ditegakkan (Kasanuki et al., 2005; The Japanese Circulation Society, 2013).

Pada studi terdahulu, melaporkan bahwa ditemukan adanya risiko depresi pada pasien ACS yang menjalani PCI (Wu et al., 2019)(Gu et al., 2016). Moser menyatakan dalam studinya bahwa kecemasan merupakan masalah yang sering dialami pada pasien ACS (Moser et al, 2010). Prevalensi kecemasan pada pasien ini berada pada kisaran antara 20% - 50% (Musselman et al, 2013). 

Pernyataan tersebut juga didukung oleh beberapa studi lain yang menyatakan bahwa tingkat kecemasan pasien ACS menjadi tinggi pada saat akan dilakukan prosedur PCI (Delewi et al., 2016; Givi et al., 2017).

Level kecemasan yang meningkat pada pasien ACS sering dihubungkan dengan proses recovery yang terlambat, komplikasi penyakit jantung lain (disritmia), prognosis yang buruk serta meningkatkan risiko kematian (Wang & Cui, 2013). Kecemasan dapat mempengaruhi perubahan fungsi kardiovaskular, karena pada saat cemas tubuh akan mengaktifkan sistem saraf simpatif. 

Sehingga, kadar adrenalin dan noradrenalin sentral dan lokal meningkat, yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, perubahan tonus vaskular, dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan irama jantung serta perubahan tanda vital (Delewi et al., 2016; Weyland, 2011). 

Oleh karena itu, penerapan EBNP untuk mengatasi kecemasan pada pasien yang akan menjalani prosedur PCI penting untuk dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun