Kisah nyata ini dialami oleh Tina saat dia masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Petang itu Tina dan kakaknya yang hanya terpaut dua tahun berada di rumah sendiri. Kedua orang tuanya harus pergi ke rumah sakit karena mendapat kabar bahwa kakak pertama Tina, Parji kecelakaan.
"Bapak, ibu ke rumah sakit dulu ya, Nduk. Kakangmu kena alangan ini," kata Bapak dengan nada cemas.
"Nanti jangan lupa menghidupkan lampu luar ya, Nduk," tambah Ibu.
"Nggih, Pak, Bu. Bapak dan Ibu hati-hati nggih. Semoga Kang Parji baik-baik saja," jawab Sani, kakak Tina.
Orang tua Tina bergegas berangkat ke rumah sakit. Tinggallah Tina dan Sani sendiri. Dua anak kecil tanpa orang dewasa di rumah.
Petang itu gerimis turun. Tanah kering yang terpanggang matahari seharian tadi mulai basah. Mengeluarkan aroma tanah yang sangat khas. Tak lama kemudian kabut datang.
Tempat tinggal Tina memang di desa, daerah pegunungan. Pekarangan masih berupa tanah, banyak pepohonan besar dan tanaman palawija yang di tanam di pekarangan, jadi jika gerimis seperti ini biasanya datang kabut. Ditambah petang itu binatang malam seperti jangkrik, kodok dan orong-orong mulai bersuara. Â
Belakang rumahnya ada segerumbul bambu petung yang daunnya tumbuh lebat. Sementara samping rumahnya ada sungai kecil. Gemericik airnya menambah suasana seram bagi orang yang tidak terbiasa.
Untunglah Tina dan Sani sudah terbiasa dengan suasana ini. Mereka juga sudah terbiasa hidup mandiri. Mereka tidak mau merepotkan tetangga walaupun  sebenarnya rumah tetangga dekat. Mungkin ayah dan ibunya juga pergi tidak lama. Itu pikir mereka.
"Ctek.. ctek.. ctek" suara saklar lampu dinyalakan.
"Dek, ayo bikin lauk untuk makan malam. Terus nanti lanjut belajar," ajak Sani.
"Ayok, Kak," jawab Tina.