Mereka segera menuju dapur. Dapur sederhana rumah Tina tak begitu luas. Walaupun begitu, dapurnya tertata dengan rapi. Ada pintu belakang untuk akses keluar.
Sani segera mengambil kayu bakar dan menyulutkan api. Orang Jawa menyebutnya daden geni. Tak lama kemudian api menyala, Sani segera meletakkan ceret di atas keren atau tungku. Sambil menunggu air mendidih, Sani mencuci piring. Karena masih kecil Tina bertugas menjaga api agar tidak padam dengan memasukkan kayu ke dalam keren.
Tina duduk di depan tungku sambil menjaga api. Tungku berada di samping pintu belakang, jadi saat duduk di depan tungku otomatis pandangan akan keluar. Melihat rimbunnya pohon bambu petung yang tinggi.Â
Rintik gerimis semakin deras, asap dari tungkupun mengepul. Suara hewan-hewan malam semakin terdengar. Sambil menjaga api, sesekali Tina memandang keluar, melihat rintik-rintik hujan yang menetes dari pohon bambu belakang rumahnya.
Tak lama kemudian samar-samar terlihat sosok berbaju serba hitam. Tina pikir mungkin itu kakak lelakinya. Namun, kakaknya kan sedang di rumah sakit. Kemudian Tina berpikir mungkin tetangganya, tapi kenapa tetangganya hanya berdiri di bawah pohon bambu, hujan-hujan pula.
Tina menajamkan matanya untuk memastikan siapa yang ada di luar.
Sedetik kemudian matanya tak bisa berkedip setelah melihat sosok itu dengan jelas. Sesosok berperawakan manusia tinggi, mengenakan baju dan celana hitam, tanpa kepala. Sangat jelas terlihat kalau kepalanya tidak ada.
Tina syok dengan pemandangan yang dilihatnya. Lidahnya kaku. Jantungnya berdegup kencang. Otaknya tak bisa mencerna apa yang ia lihat.Â
Seketika semua organ tubuhnya seperti tak berfungsi. Bahkan Tina tak mendengar saat Sani memanggil-manggil Tina untuk membantunya meniriskan piring yang habis ia cuci.
"Dek! Dek Tina! Bantuin kakak beresin cucian piring ini," kata Sani.
"Dek! Hey! Tina!"