Keinginan Jokowi menetapkan harga daging Rp. 80 ribu/kg hingga kini belum terwujud, walaupun telah digunakan berbagai jurus jungkir balik. Kini, menghadapi lebaran yang tinggal beberapa minggu ini, pemerintah akan merealisasikan kebijakan HET komoditi daging sapi dan impor daging kerbau asal India walaupun diduga harus melanggar UU No. 41/2014, akan kah harga daging turun?.
Kebijakan Penetapan harga daging dilakukan pemerintah sejak dikeluarkannya Permendag No. 669/2013. Kebijakan ini dilahirkan, karena pemerintah meragukan akurasi data mengenai penawaran dan permintaan yang ada selama ini. Sementara itu, indikator harga datanya tidak terbantahkan. Sehingga melalui indikator harga, dapat diketahui keadaan penawaran dan permintaan yang sesungguhnya. Misalnya, jika harga naik mengindikasikan kurangnya penawaran demikian sebaiknya.
Berdasarkan hal tersebut di tahun 2013 pemerintah menetapkan harga patokan daging sapi Rp. 75 ribu/kg. Namun, realitanya kondisi tersebut tidak pernah tercapai, bahkan harga pernah melambung tinggi hingga Rp. 140 ribu/kg. Kini pemerintah menetapkan HET daging beku Rp. 80 ribu/kg dan daging segar paha belakang Rp. 105 ribu/kg. (Permendag 63/2016). Sementara faktanya harga daging masih berkisar di harga Rp. 115 ribuan/kg.
Harga daging sapi
Di negeri ini, terbentuknya harga daging sapi masih diserahkan kepada mekanisme pasar. Sedangkan pengaturan harga oleh pemerintah, masih dilakukan dengan setengah hati. Sementara itu, ketersediaannya dilakukan melalui pengaturan pemerintah yang sangat ketat. Ketersediaan yang dimaksud, adalah sejak importasi sapi bakalan dan daging sapi. Justru pengaturan ketersediaan inilah yang menyebabkan harga daging yang terbentuk menjadi mahal. Pasalnya, para pelaku bisnis akan dapat mengatur berapa sesungguhnya ketersediaan daging sapi.
Sesungguhnya, kesulitan turunnya harga daging sapi di sebabkan dua hal utama, yaitu; pertama, bahwa pendekatan terhadap budaya konsumi komoditi daging sapi tidak dilakukan secara akurat. Pasalnya, konsumen daging sapi di dalam negeri lebih menyukai daging segar atau “hot meat”. Sementara itu pendekatan yang dilakukan pemerintah dengan menggelontorkan daging beku tidak dibarengi oleh infrastruktur “cold chain” di pasar becek. Pada kasus ini, dampaknya telah terjadi “penolakan oleh konsumen”. Kedua; kebijakan impor daging tidak dilengkapi dengan kebijakan pengaturan permintaannya. Sesungguhnya, pemerintah harus mampu melindungi konsumen terhadap komoditi pangan yang beredar. Misalnya, kasus introduksi daging kerbau yang beredar ditujukan untuk menurunkan harga daging sapi. Faktanya, daging kerbau yang seharusnya dijual dengan harga Rp. 60 ribu/kg bahkan menjadi Rp. 100 ribu/kg. Bukannya menarik turun harga daging sapi lokal bahkan sebaliknya.
Harga keseimbangan
Sebenarnya harga daging sapi yang berlaku saat ini sekitar Rp. 115 ribu/kg merupakan harga “keseimbangan baru”. Jika harga keseimbangan ini diturunkan, tentunya yang akan dirugikan adalah usaha peternakan rakyat di dalam negeri. Menurut penelitian Tawaf (2013) bahwa harga produk ternak memberikan pengaruh nyata sekitar 38 % terhadap upaya pengembangan skala usaha ternak. Artinya, harga merupakan komponen insentif bagi pengembangan usaha peternakan rakyat di dalam negeri. Jika saja pemerintah berkeinginan menurunkan harga, sesungguhnya identik dengan tidak menginginkan bahwa peternakan sapi rakyat di dalam negeri berkembang. Oleh karenanya perlu dicarikan jalan keluar, yaitu mencari bentuk harga yang terjangkau oleh konsumen, namun memberikan rangsangan bagi produsen.
Perbandingan harga
Kita semua sangat paham, bahwa Indonesia merupakan negara yang bebas Penyakit Mulut dan Kuku dan 98 % populasi ternak sapi potong dikuasai oleh sekitar 5,5 juta keluarga peternak rakyat yang berusaha secara subsisten tradisional. Ternak sapi merupakan tabungan dan diusahakan tanpa lahan usaha, namun demikian ternak merupakan penopang kehidupan perekonomian rakyat di perdesaan. Hal ini tidak bisa diperbandingkan dengan negera tetangga kita.
Misalnya Malaysia, ternyata negeri jiran ini hanya memiliki sapi sekitar 850 ribuan ekor yang dikelola oleh sebagian besar korporasi, yaitu 500 perusahaan feedlot menguasai 250 ribu ekor, 1.300 perusahaan integrasi menguasai 200 ribuan ekor dan 37 ribu peternak tradisional menguasai 400 ribuan ekor. Di Malaysia, upaya mengontrol harga dilakukan pemerintah antara lain dengan menerbitkan price control and anti profiteering act 2010, yaitu UU tentang pengendalian harga dan anti pengambilan keuntungan yang berlebih. Kebijakan tersebut untuk mengontrol kenaikan harga dan mencegah aksi spekulasi untuk meraih untung besar. Berdasarkan hal tersebut, struktur harga daging di Malaysia bisa digolongkan kedalam harga murah untuk daging asal India, harga sedang untuk daging yang berasal dari Australia dan daging mahaluntuk daging produksi peternakan domestik.
Segmentasi Harga
Sesungguhnya penetapan harga Rp. 80 ribu/kg dapat saja terjadi jika pemerintah melakukan segmentasi harga serta menerapkan perlindungan konsumen. Hal ini dimaksudkan bahwa, sesuai dengan pengalaman di negara tetangga dan penetapan UU perlindungan konsumen dan keterbukaan informasi publik. Pemerintah dapat menetapkan kebijakan pengaturan terhadap peredaran daging impor. Misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk daging kerbau asal India tidak lagi dijual sebagai daging sapi dengan menerapkan UU No. 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen (Harun al Rasyid, PR 2017).
Hal ini berkaitan dengan maraknya pemalsuan penjualan komoditi daging. Selain itu, sebaiknya pemerintah juga dapat menetapkan kebijakan keuntungan maksimal dalam sistem perdagangan komoditi. Sehingga, dampaknya akan terbentuk segmentasi harga daging dipasar. Diharapkan intervensi kebijakan ini akan terbentuk harga daging kerbau asal India yang murah, mungkin kurang dari Rp. 80 ribu/kg. Harga daging sapi impor asal Australia berkisar Rp. 90 ribuan ribu/kg dan daging sapi lokal produksi peternakan rakyat sekitar Rp. 115 ribuan/kg. Hal tersebut, sesuai dengan teori kepuasan konsumen terhadap komoditi yaitu berdasarkan kualitas produk, harga dan pelayanan. Dampak lanjut kebijakan ini, akan memberikan pembelajaran sekaligus perlindungan bagi konsumen maupun produsen daging sapi....semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H