Idul Kurban telah terlewati beberapa hari yang lalu, kita telah menyaksikan hampir disetiap masjid bahkan mushala-mushala, masyarakat yang beragama Islam menjalankan salah satu syariatnya yaitu memotong hewan Kurban. Permintaan hewan kurban yang semakin meningkat dari tahun ketahun mencirikan bahwa telah terjadi peningkatan kemampuan ekonomi dan keimanan umat Islam dalam menjalankan ajarannya. Namun demikian, bila dicermati telah terjadi kenaikan harga hewan kurban yang cukup signifikan di tahun ini. Kenaikan harga ini seperti yang tidak dapat dihindarkan, pasalnya berdasarkan pengamatan ada dua hal yang mendasari mengapa harga hewan kurban meningkat di setiap tahun.
Kenaikan Harga
Pertama, kenaikan harga mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Yaitu, harga akan meningkat jika penawaran (hewan kurban) lebih sedikit daripada permintaannya. Pada fenomena seperti ini, harga merupakan indikator yang dapat dijadikan ukuran minimnya jumlah penawaran (ternak) yang dijadikan sebagai hewan kurban.
Kualifikasi dan kuantifikasi penawaran menjadi penting dan turut mewarnai dalam memenuhi kebutuhan berapa jumlah hewan kurban yang diperlukan masyarakat. Kualifikasi yang diperlukan seperti ternak jantan yang sehat, cukup umur dan tidak cacat merupakan permintaan yang layak dipenuhi. Sebab, performans hewan kurban akan sangat menentukan besarnya permintaan pasar.
Kedua, adalah kenaikan harga dilihat dari segi ritual keagamaan seseorang terhadap hewan kurban itu sendiri. Misalnya, indikator “kesehatan, kegagahan, maupun ketampanan” seekor hewan, yang sifatnya sangat pribadi. Pada kasus ini, sangat sulit mengukur mahal dan murahnya harga hewan kurban, ibarat nilai “kurbannya Ismail putra Ibrahim yang digantikan seekor gibas oleh Allah SWT”. Begitu kuatnya keimanan seseorang, dia tidak lagi melihat berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan dari dompetnya untuk seekor hewan yang akan dijadikan kurban bagi diri dan atau keluarganya dihadapan sang Khalik.
Dampak Idul Kurban
Namun demikian, ada fenomena lain yang terjadi dihari raya idul kurban ini khususnya di perkotaan Jabodetabek dan sekitar Bandung Raya. Di wilayah ini kebutuhan ternak sapi bagi kebutuhan reguler konsumsi harian masyarakat dipenuhi oleh lebih dari 90 % berasal dari sapi dan daging impor. Sehingga, dampak hari raya idul kurban tidak dirasakan adanya perubahan yang berarti terhadap harga daging sapi yang dijual di pasar umum, bahkan harganya cenderung stabil.
Hal ini sangat berbeda dengan di wilayah-wilayah yang tidak tersentuh dengan kehadiran sapi dan daging impor. Di wilayah ini akan sangat terasa perubahan harga eceran daging sapi yang meningkat sangat tajam di pasar umum. Misalnya, di Provinsi Aceh pada kondisi jelang idul Kurban harga daging sapi dipasar umum menembus angka Rp. 160 ribu/kg. Pasalnya, sapi-sapi yang biasa dipasarkan bagi kebutuhan reguler dipasar, ditahan oleh peternak karena mereka akan menjual ternaknya pada saat hari raya idul kurban.
Pasarnya peternak rakyat
Bagi peternak rakyat, momentum hari raya kurban merupakan pasar tahunan yang sangat dinantikan. Mengingat harga yang terbentuk pada saat transaksi, terjadi tidak semata hanya didasarkan kepada berat timbang hidupnya. Namun juga konsumen melihat dari sisi yang lainnya, biasanya masyarakat menyebut sebagai “beli bogoh” (bahasa sunda) yang memiliki makna beli dengan rasa kasih sayang/senang. Perilaku budaya “beli bogoh” ini seringkali lebih didasarkan kepada kondisi kualitas ternak dan keimanan yang berbaur. Atas dasar perilaku tersebut, bagi peternak rakyat kondisi ini digunakan sebagai sasaran tahunan dalam memperoleh laba tertingginya.
Daging India