Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kemelut Daging Sapi

14 Juni 2016   14:26 Diperbarui: 16 Juni 2016   19:22 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan suci ramadhan, pemerintah mulai rajin melakukan kampanye memasarkan daging murah, di tengah-tengah masyarakat berpenghasilan cukup di arena CRF di Jakarta, Bogor dan Bandung. Apakah kegiatan ini mampu meredam gejolak harga dan menurunkan harga daging sapi di Jabodetabek?  Selain itu, pemerintah telah memerintahkan BUMN untuk mempersiapkan impor daging sapi dari negara-negara eksportir daging terkenal bahkan juga dari negara  yang belum bebas PMK. Apakah seluruh kegiatan yang dilakukan pemerintah ini akan mampu menurunkan harga daging sapi seperti harapan Jokowi menjadi dibawah Rp. 80 ribu per kilogram pada saat Bulan Suci Ramadhan dan Lebaran tahun ini??

Gagal Swasembada

Sejak swasembada daging sapi dinyatakan gagal oleh Mentri Pertanian Suswono, diakhir masa jabatannya kemelut daging sapi tidak berhenti sampai sekarang. Suswono menyadari, bahwa kegagalan swasembada daging sapi karena ‘salah hitung’. Maksudnya adalah bahwa kegagalan tersebut penyebab utamanya adalah data yang tidak akurat, walaupun BPS telah melaksanakan dua kali sensus mengenai sapi dan kerbau pada tahun 2011 dan 2013 untuk meyakinkan pemerintah.

Setahun terakhir di era Jokowi, lagi-lagi kemelut ini berlanjut. Mentan Amran Sulaeman meyakini bahwa karut marut ini penyebabnya adalah ‘para mafia daging sapi’ yang disangkakan kepada para pengusaha penggemukan sapi potong impor. Para pengusaha ini disatroni bareskrim ke kandangnya, layaknya teroris. Namun, bareskrim tidak menemukan apa-apa di kandang tersebut. Di ujung akhir dari sangkaan tersebut, para pengusaha ini menjadi terlapor di KPPU, mereka disangka melakukan pola perdagangan kartel daging sapi. Selama hampir empat bulan dipersidangan, KPPU menjatuhkan sanksi denda dan dinyatakan bahwa 32 perusahaan tersebut dengan sangat meyakinkan telah melakukan kartel dan mereka didenda sebesar Rp.106 Milyar. Sanksi KPPU ini pun masih dipertanyakan, dan langsung para pengusaha ini akan melakukan upaya hukum, melalui banding  ke pengadilan negeri dan tinggi.

Ranah Hukum

Kini kemelut daging sapi masuk ke babak baru,  yaitu episode di ‘ranah hukum’. Pasalnya, ternyata karut marut peternakan sapi potong, yang melibatkan ternak sapi dan produknya daging sapi, juga harganya yang tidak kunjung turun. Ternyata setelah penulis telusuri, salah satu inti masalahnya berada pada tatanan dasar bagi aktivitas pembangunan peternakan, yaitu perundangannya; UU no. 18/2009 yang direvisi menjadi UU No.41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan (PKH).

Sejak diundangkannya UU No. 18/2009 tentang PKH pada tanggal 4 Juni 2009 oleh presiden SBY hingga kini, telah dilakukan empat kali uji materi oleh masyarakat di Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, mengenai zona base, otoritas veteriner dan kewenangan kedokteran hewan, yang diajukan oleh kelompok masyarakat seperti para dokter hewan, koperasi persusuan dan para peternak sapi. Kedua, mengenai sertifikasi halal yang diajukan oleh, asosiasi produsen makanan dan minimuman; ketiga, mengenai zona base yang diajukan oleh masyarakat dan koperasi persusuan (GKSI) dan keempat adalah mengenai integrasi bisnis perunggasan, yang diajukan oleh kelompok masyarakat perunggasan.

Pengajuan uji materi yang dilakukan masyarakat terhadap UU No. 18/2009 jo UU No. 41/2014 ke MK, merupakan bukti bahwa UU tersebut belum mampu menjawab masalah pembangunan peternakan. Sejatinya suatu undang-undang harus mampu memberikan suasana iklim kondusif bagi tumbuh kembangnya pembangunan, setidaknya untuk 20 tahun.

Fenomena tersebut, sesungguhnya merupakan manifestasi masalah mendasar dalam pembangunan peternakan khususnya sapi potong, selain data yang tidak akurat yaitu tidak diimplementasikannya otoritas veteriner.  Dalam UU No. 18/2009 tentang PKH bab VII tentang otoritas veteriner dimana dalam bab ini mengamanatkan bahwa pemerintah harus membuat sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang hingga kini belum ada. Siskeswanas adalah tatanan unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas yang berlaku secara nasional.

Belum adanya siskeswanas menyebabkan tidak adanya atau belum berjalannya otoritas veteriner yang sesuai dengan harapan masyarakat khususnya peternak di negeri ini, yang berakibat luas terhadap lemahnya perlindungan masyarakat veteriner.

Otoritas veteriner

Dampak yang dirasakan terhadap tidak adanya siskeswanas adalah tidak adanya perhatian pemerintah terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat dan perdagangan global. Misalnya, (1) kurangnya tenaga ahli kedokteran hewan dan tenaga medis veteriner yang diperlukan guna mengisi semua lini yang diperlukan dalam era persaingan produk peternakan saat ini. (2) kurangnya laboratorium dan Poskeswan untuk perlindungan berbagai penyakit hewan menular utama (PHMU), (3) belum adanya dana tanggap darurat apabila terjadi outbreak jenis penyakit tertentu, (4) belum adanya kelembagaan khusus di tingkat nasional yang mampu menangani masalah ini secara nasional, (5) keluarnya PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan, yang baru ditandatangi oleh Presiden Jokowi. Dimana payung hukum PP ini bergantung kepada UU No. 41/2014 pasal 36, namun materinya memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu tidak ditunjang oleh siskeswanas. Fakta hukum ini menunjukan bahwa PP No. 4/2016 disinyalir tidak akan mungkin dioperasionalkan sesuai dengan prasyarat kebijakan OIE.  

Sesungguhnya siskeswanas dituntut keberadaannya oleh situasi dan kondisi permintaan perdagangan global. Pada kasus ini pemerintah Jokowi luput memperhatikan amanat UU No. 18/2009 tentang PKH Bab VII, sehingga beberapa kebijakan operasional turunannya  menabrak kiri kanan dan sepertinya ada ‘pemaksaan kehendak’. Dikhawatirkan jika tidak dilengkapi aturan kebijakan tentang hal ini, tentu yang akan menjadi korban adalah peternak rakyat dan perekonomian di perdesaan.

Sesungguhnya, akibat kelemahan di bidang ini,  telah menjadi titik krusial biang karut marutnya pertahanan kesehatan masyarakat veteriner yang dengan sangat mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki negara ini kuat dan mampu bersaing di pasar global dalam subsektor peternakan.

Kiranya tuntutan masyarakat veteriner dalam menggugat UU No. 18/2009 dan UU No. 41/2014 tentang PKH di Mahkamah Konstitusi saat ini merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam mengisi kebutuhan dan tuntutan perkembangan dunia saat ini. Misalnya kebijakan importasi daging yang sesuai dengan kebijakan OIE.  Jika saja pemerintah mampu membangun sistem kesehatan hewan nasional maka akan tercipta otoritas veteriner yang tangguh, tentunya akan mampu mendukung pembangunan peternakan nasional yang berdaya saing..... (Harian Pikiran Rakyat, tanggal 17 Mei 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun