Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Harus Country, Bukan Zona Base?

25 Maret 2015   11:24 Diperbarui: 13 September 2015   17:26 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai para pejabat pemerintah bahkan menteri Perdagangan dan menteri Pertanian serta para para wakil rakyat di DPR di tahun 2012-2013 lalu sangat ingin mengubah UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Keinginan tersebut mengemuka lantaran munculnya masalah bilateral antara Indonesia dan Australia, karena dianggap Australia sebagai negara yang memonopoli perdagangan sapi dan dagingnya ke Indonesia. Sebenarnya bukan itu inti persoalannya, sesungguhnya para ahli otoritas veteriner berupaya melindungi negeri ini dari kemungkinan berjangkitnya wabah penyakit ternak, sebagi akibat serbuan komoditi impor dari negera-negara yang belum terbebas penyakit-penyakit veteriner berbahaya.

Materi yang menjadi topik “keributan” sebenarnya terdapat pada ayat (2) Pasal 59 UU 18/2009 tentang kebijakan impor produk peternakan yang berasal dari suatu negara. Sebelum direvisi, ayat tersebut berbunyi sebagai berikut : Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.

Zona Base

Jika kita mereview proses penetapan ayat tersebut, telah terjadi perdebatan sejak saat penyusunan RUU yang berjalan cukup alot dan memakan waktu lama, hingga diundangkan menjadi UU no. 18/2009. Sedemikian alotnya, maka perjalanan pasal 59 yang berisi mengenai zona based telah menjadi catatan khusus dalam RDPU Komisi IV DPR RI untuk dibuatkan kajian akademik yang lebih mendalam atas saran para stake holder peternakan waktu itu. Selang beberapa hari dari RDPU terakhir di komisi IV, RUU PKH diundangkan dengan pasal tanpa perubahan dan tetap dicantumkan bahwa impor daging boleh masuk dari negara-negara yang belum bebas penyakit Mulut dan Kuku (PMK), namun berasal dari zona yang bebas penyakit PMK di negara tersebut (zona based).

Mengapa para pemegang otoritas veteriner sepertinya ngotot bahwa negeri ini “harus” memegang prinsip “country base” bukannya “zona base”?. Dalam diskusi yang cukup panjang, serta setelah mendengarkan laporan dari tim Tim Analisa Resiko Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah. Berdasarkan hasil kunjungannya ke India, Brasilia dan Argentina waktu itu, maka tim TARI merekomendasikan bahwa pemerintah harus melindungi bangsa ini dari kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular khususya penyakit mulut dan kuku (PMK). Untuk itu pemerintah wajib menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendukung mitigasi yang mungkin terjadi akibat outbreak penyakit PMK.

Kerugian PMK

Polemik ini terjadi bukan tanpa sebab, jika negeri ini melakukan impor sapi maupun daging dari negara-negara yang belum bebas PMK seperti India dan Brasilia. Maka, peluang terjadinya penularan penyakit tersebut di negeri ini, semakin besar ketimbang jika kita tidak mengimpornya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penyakit PMK merupakan “airborn desease” telah terjadi “out break” di Inggris pada tahun 2001, ternyata hanya beberapa hari saja telah mampu menyebar di Inggris raya dan meluluh lantahkan industri peternakan dan perekonomian negeri ini. Dengan kerugian sekitar 4.2 juta ekor hewan (sapi, domba, kambing, babi dan rusa) dimusnahkan, kerugian di sektor pertanian sekitar 3,1 Milyar Pounsterling  dan berdampak kerugian terhadap industri hotel & restoran, pertanian, perdagangan, industri manufaktur, transportasi, jasa dan pelayanan, bisnis finansial dan konstruksi. Demikian pula kasus di Filipina tahun 1997 telah menelan kerugian sekitar 14 juta USD, juga outbreak di Korea pada tahun 2000 dan 2002 telah mampu menurunkan harga ternak sampai 20 %. Kerugian yang terjadi di Brazil akibat PMK tahun 2001 mencapai nilai $ 300 juta atau Rp. 3,3 trilyun. Sedangkan di Argentina menyebabkan negara ini kehilangan pasar ekspor utama yaitu Amerika Serikat, Canada, Chili dan Uni Eropa dan ancaman kerugian ekonomi mencapai $ 600 juta atau Rp 6,6 trilyun. (Hutabarat TSP, 2013 dan berbagai sumber)

Sebenarnya pada saat diskusi para pelaku bisnis peternakan sapi dan kerbau dengan para ahli dan peneliti di Puslitbangnak pada tanggal 14 Oktober 2008, telah dirumuskan bahwa  kebijakan zona base bisa diterapkan sepanjang pemerintah melakukan tahapan sebagai berikut; (1) dilakukan Analisis akademik silang terhadap resiko dan manfaatnya dari zona base maupun country base. (2) adanya kesiapan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi, loading dan unloading, karantina, pengawasan, dan lainnya. (4) Faktor keamanan yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of protection) untuk PMK dan (5) Ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai, jika terjadi outbreak PMK, serta peningkatan kemampuan surveilan dan pelimpahan wewenang surveilan PMK dari Pusvetma - Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia. Kesemua tindakan tersebut, berpegang pada konsep maksimum sekuriti, terhadap kemungkinan peluang terjadinya outbreak bila negeri ini mengadopsi zona based.

Yudisial Review

Seperti diketahui  bahwa Mahkamah  Konstitusi (MK)  berwenang mengadili  pada  tingkat  pertama  dan  terakhir  yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk: menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945. Selanjutnya, dalam persidangan yudicial review di MK dimana argumentasi ilmiah yang disampaikan tim ahli baik dari pemerintah maupun para penggugat dari Asosiasi dan kelompok peternak, ternyata terungkap sejatinya pemerintah tidak siap menyediakan sarana dan prasarana pendukung guna memenuhi prasyarat yang diperlukan dalam rangka pengamanan program mitigasi PMK. Sehingga, UU No. 18/2009 mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan menurut keputusan MK  No. 137/PUU-VII/2009 tetap memberlakukan konsep country based berdasar pada maksimum sekuriti.

Dalam amar putusannya MK secara sah menyatakan  bahwa UU  No. 18/2009  tentang  Peternakan  dan  Kesehatan  Hewan  khususnya  Pasal  44  ayat  (3),  Pasal  59  ayat  (2)  berkaitan dengan frase ”unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalam Pasal 59 ayat (4) berkaitan dengan frase ”atau kaidah internasional” dan Pasal 68  ayat  (4)  berkaitan  dengan  kata  ”dapat”  bertentangan  dengan  UUD  1945 khususnya Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat  (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan  ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Artinya dengan kata lain bahwa kebijakan zona base bertentangan dengan kebijakan yang tertuang dalam UUD 1945, sehingga negeri ini tetap menggunakan kebijakan ‘country base”.

UU No. 41/2014

Sejatinya, ternyata UU No. 18/2009 tentang PKH telah dirobah oleh DPR RI dipenghujung akhir masa jabatannya di tahun 2014 lalu. Perubahan UU 18/2009 menjadi UU No. 41/2014 pun bukan tanpa kontroversi. Pasalnya, stake holder yang melakukan  ‘judicial rewiew terhadap UU No.18/2009’ ke Mahkamah Konstitusi,  semua tidak diajak bicara dalam penyusunannya di DPR RI. Ternyata pula, bahwa UU No. 14/2014 telah memuat kembali masuknya komoditi ternak ruminansia bibit dari negara yang memiliki zona bebas penyakit. Kesemuanya tertuang dalam Pasal 36.c. yang berbunyi; pemasukan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah NKRI dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tatacara pemasukannya. Pasal ini akan menuai masalah dikemudian hari, karena tidak mengunakan falsafah ‘maksimum sekuriti’. Selanjutnya, memang pemasukan daging sapi tidak diatur  secara eksplisit  dalam UU ini ini, artinya dalam peraturan menteri harus dinyatakan mengenai importasi daging sapi sesuai dengan hasil 'yudisial review MK' pada tahun 2010.

Sebenarnya, jika saja pemerintah mampu menyediakan semua prasyarat yang diharuskan sesuai dengan saran-saran tim TARI, maka konsep minimum sekuriti dapat diterima oleh para pihak. Namun, karena sampai saat ini kemampuan pemerintah dalam memenuhi seluruh prasyarat yang diharuskan ada, berdasarkan otoritas veteriner, maka kita masih harus menganut falsafah ‘maksimum sekuriti’. Artinya, ‘konsep country base’ yang digunakan guna menangkal masuknya penyakit zoonosis berbahaya yang berasal dari kebijakan importasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun