Diskusi intelektual memang tidak pernah habis. Salah satunya hangat dibicarakan saat ini, Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) yang rasanya tidak selesai-selesai. Baik secara harfiah oleh wakil-wakil rakyat pemegang kekuasaan legislatif yang duduk di bangku Senayan, maupun pembahasan di media sosial, forum diskusi, dan wadah-wadah lain. Apa masalahnya?
Kitab Umum Hukum Pidana yang kita gunakan sekarang ini sudah uzur. Tahun ini, 2018, umurnya persis satu abad. KUHP berlaku sejak 1 Januari 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Ketika kalimat proklamasi dideklarasikan oleh Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Nomor 56, seharusnya diberlakukan peraturan baru, bukan? Bukankah itu merupakan peninggalan Belanda yang kebetulan telah menjajah kita selama lebih dari tiga abad?
Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan setelah Indonesia merdeka mengatakan, "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." seperti tertulis pada Aturan Peralihan pasal II UUD 1945 sebelum amandemen. Pada saat itu dokumen serupa belum dibuat mengingat keadaan yang genting pascakemerdekaan. Akhirnya, Wetboek van Strafrecht pun terus diberlakukan. Seiring berjalannya waktu, beberapa pasal pun akhirnya dicabut karena sudah tidak relevan. Apalagi Wetboek van Strafrecht merupakan perundang-undangan peninggalan Belanda yang masih memegang semangat kolonialisme.
Sekarang, hangat dibicarakan tentang revisi KUHP yang tengah didiskusikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebenarnya usaha untuk memperbarui KUHP ini telah dilakukan berkali-kali. Namun, tidak ada hasil yang memuaskan. Akhirnya kita terus kembali kepada Wetboek van Strafrecht yang sekarang umurnya seratus tahun.
Revisi KUHP sendiri bukanlah hal yang buruk. Sah-sah saja, logis. Zaman terus berubah, apakah KUHP akan dibiarkan ketinggalan?
Indonesia adalah negara demokrasi. Hal ini tidak bisa diganggu gugat lagi. Terutama mengingat masa sebelum 1998. Pada saat itu "demokrasi" hanya ada di mulut belaka. Kebebasan pers sempit. Tidak ada ruang untuk kritik. Kontrol sosial nol. Ketika ada yang bicara, nyawa harganya. Petrus terjadi di banyak tempat. Rakyat hidup dalam selimut kediktatoran. Berpuluh-puluh tahun. Semua berubah pada 1998. Rakyat meledak. Tidak lagi diam diri menerima opresi. Reformasi mengembalikan hak dan kewajiban demokrasi yang dimiliki rakyat Indonesia.
Demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Itulah semboyan yang selalu dibawa-bawa. Ini berarti negara adalah milik rakyat. Rakyat berhak, tidak, berkewajiban untuk turut andil dalam penyelenggaraan negara. Itu prinsip dasar.
Lantas, dua puluh tahun pascarevolusi, demokrasi itu dikebiri?
Pasal 238 ayat (1) draf RKUHP versi 2 Februari 2018 menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori I pejabat.
Apa artinya?
Indonesia negara demokrasi nan majemuk. 261,1 juta penduduk. Ini berarti ada 261,1 juta suara di negeri ini dengan pendapatnya masing-masing. Masalah trivial seperti bubur ayam diaduk atau tidak saja pendapatnya bervariasi. Apalagi dengan hal vital yang menyangkut kepentingan umum? Masyarakat berperan dalam kontrol sosial. Kontrol sosial berfungsi untuk menjaga penguasa di jalur yang benar dalam memberikan upaya terbaik untuk kebaikan rakyatnya. Namun, ketika melakukan kontrol sosial sebelas dua belas dengan lima tahun di jeruji besi, apa yang akan rakyat pilih?