Mohon tunggu...
Riskiana Ayu Mareta
Riskiana Ayu Mareta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2023

Senang membaca karya fiksi. Saya memiliki minat yang besar dalam pembelajaran psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengaruh Jenjang Karier Seorang Istri terhadap Tingkat Perceraian

18 Maret 2024   20:48 Diperbarui: 18 Maret 2024   20:55 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaruh Jenjang Karier Seorang Istri Terhadap Tingkat Perceraian

Oleh : Riskiana Ayu Mareta


PENDAHULUAN

Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang lakilaki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia (Santoso, 2016). Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Selain itu dalam UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun untuk mencapai tujuan pernikahan tersebut tidaklah mudah, akan banyak rintangan, cobaan, dan tantangan yang akan dihadapi kedepannya. Tidak sedikit pasangan yang tidak dapat mewujudkan tujuan pernikahan tersebut sehingga banyak dari kehidupan rumah tangga atau keluarga yang merasa tidak bahagia dan bahkan berhenti di tengah jalan yang berakhir dengan perceraian (Saziqil, 2022).

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 ada 516.334 kasus perceraian di Indonesia yang telah diputus oleh pengadilan. Sebanyak 75,21% atau 388.358 kasus perceraian yang dicatat BPS merupakan cerai gugat, yakni perkara perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah. Kemudian 24,79% atau 127.986 kasus lainnya merupakan cerai talak, yakni perkara perceraian yang diajukan oleh suami atau kuasanya yang sah. Laporan BPS juga menunjukkan, tren kasus cerai gugat terus meningkat semenjak pandemi Covid-19. Begitu pula dengan kasus cerai talak, yang juga naik meski kenaikannya tak sebesar cerai gugat. Besarnya tren kenaikan cerai gugat dan cerai talak mengakibatkan kasus perceraian di Indonesia kembali melonjak pada 2022, bahkan mencapai angka tertinggi dalam enam tahun terakhir. 

Adapun menurut Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag) Agus Suryo Suripto, perceraian menjadi masalah keluarga paling serius di Indonesia sampai saat ini. Menurut Agus, saat ini ada satu dari empat keluarga Indonesia yang berakhir di Pengadilan Agama alias bercerai. Agus juga menyebut banyak kasus perceraian yang diajukan perempuan mapan. "Dari 93% perempuan yang mengajukan gugat cerai itu, 73% adalah perempuan-perempuan yang mapan secara ekonomi,” kata Agus, dilansir dari Liputan6.com, Jumat (6/10/2023). Adapun menurut BPS, faktor penyebab perceraian di Indonesia sepanjang 2022 bervariasi, mulai dari perselisihan, ekonomi, meninggalkan salah satu pasangan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Perkembangan zaman dan tuntutan hidup yang semakin menuntut, terutama dalam masalah ekonomi seperti saat ini, membuat banyak wanita menginginkan karir untuk membantu mensejahterakan keluarganya secara finansial. Banyak dari kalangan wanita karir yang menggugat cerai suami karena berbagai latar belakang masalah baik yang berasal dari luar maupun dari dalam yang akhirnya membuat rumah tangga tidak harmonis. Hal ini membuat banyak wanita karir yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ke Pengadilan Agama dan gugatan tersebut semakin meningkat jumlahnya setiap tahunnya (Anwar, 2020).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenjang karier seorang istri terhadap perceraian yang kian meningkat tiap tahunnya di Indonesia. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh jenjang karier seorang istri terhadap perceraian.

TINJAUAN TEORI

Karier Seorang Istri

Wanita karier dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: wanita karier yang tidak terikat dengan tali pernikahan dan wanita karier yang terikat dengan tali pernikahan. 

1. Wanita karier yang tidak terikat dengan tali penikahan adalah wanita yang belum pernah menikah atau wanita yang pernah menikah tetapi telah terjadi proses perceraian/talak yang aktif dalam bekerja pada bidang pekerjaan tertentu sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya. Wanita yang tergolong dalam kelompok ini dapat bekerja dengan bebas tanpa adanya keterikatan dan tanggungjawab kepada siapa pun. 

2. Wanita karier yang terikat dengan tali pernikahan adalah wanita yang telah melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki yang ditandai dengan adanya proses aqad nikah yang di dalamnya terjadi sebuah ikatan lahir batin antara si wanita dengan si laki-laki. Hal inilah yang melahirkan ikatan suami istri yang mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.

Dengan demikian, keduanya mempunyai keterikatan dalam hal keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban di antara keduanya. Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam ajaran Islam. Artinya, ketika seorang suami menunaikan kewajibannya terhadap istri, maka pada saat itu pula istri telah menerima hak dari suaminya. Seorang suami harus bertanggung jawab terhadap seluruh kehidupan keluarga mulai dari memelihara, memimpin dan membimbing keluarga secara lahir dan batin serta bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan keluarganya (Djamaluddin, 2018).

Perceraian

Perceraian berarti putusnya perkawinan atau berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan tergantung dari segi siapa yang berkehendak untuk memutuskan perkawinan. Menurut hukum Islam dalam hal ini terdapat 4 (empat) kemungkinan sebagaimana menurut Amir Syarifuddin (2009:197): Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui kematian; Putusnya perkawinan atas kehendak suami disebut talak; Putusnya perkawinan atas kehendak istri disebut khulu; Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga disebut fasakh (Hamid, 2018). 

Faktor Penyebab Perceraian

George Levinger (Ihromi, 1999:153-155) pada umumnya perceraian itu terjadi karena faktor-faktor tertentU yang mendorong suami- istri untuk bercerai. Faktor-faktor dimaksud antara pasangan suami-istri yang satu dengan yang lain saling berbeda. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1966 dengan mengambil sampel 600 pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian menunjukkan bahwa keluhan-keluhan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian adalah sebagai berikut : 

a) Pasangannya sering mengabaikan kewajibannya terhadap rumah-tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan. 

b) Masalah keuangan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. 

c) Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan. 

d) Pasangan sering membentak dan mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan. 

e) Tidak setia lagi, seperti mempunyai kekasih lain.

f) Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya, seperti sering menolak dan tidak bisa memberikan kepuasan. 

g) Sering mabuk. 

h) Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya. 

i) Seringnya muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya. 

j) Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurang perhatian dan kebersamaan di antara pasangan. 

k) Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu ”menguasai”.

KESIMPULAN

Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara wanita karier dengan tingginya tingkat perceraian yang terjadi di Indonesia meskipun tidak secara signifikan. Wanita yang mengenyam pendidikan tinggi, akan menuntut adanya kestabilan ekonomi dalam pernikahan. Semakin mapan seorang wanita, akan muncul rasa kemandirian sehingga berani mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan untuk bercerai dalam pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, H. S. (2020). Fenomena Perceraian di Kalangan Wanita Karir Tahun 2020-2021 Perspektif Hukum Islam . Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam. Vol (3) No. 3, halaman 15.

Djamaluddin, A. (2018). Wanita Karier Dan Pembinaan Generasi Muda. Jurnal Maiyyah. Vol (11) No. 1, halaman 113-114.

Hamid, H. (2018). Perceraian dan Penanganannya. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. Vol(4) No. 4, halaman 25.

Santoso. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jurnal Yudisia. Vol (7) No. 2, halaman 415.

Saziqil, I. (2022). Faktor Penyebab Tingginya Angka Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Bandung. Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam, 102.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun