Ungkapan bahwa bangsa ini pelupa mungkin ada benarnya. Kemungkinan sebagai besar kita sudah melupakan peristiwa gagal ginjal masif yang melanda anak anak yang tidak hanya mengguncang Indonesia namun Dunia.
Bagaimana mungkin dalam waktu yang relatif singkat banyak anak anak yang menjadi korban gagal ginjal dan bahkan ada yang berujung kematian. Kelak nantinya dari hasil penelusuran ternyata biang kerok nya adalah obat batuk yang mengandung bahan yang tidak seharusnya digunakan yaitu etilen glikol yang digunakan dalam produk industri seperti antibeku yang seharusnya dikontrol ketat oleh pemerintah.
Proses hukum memang sudah berjalan dimana perusahaan pemasok bahan kimia dan produsen obat batuk yang dianggap bertanggung jawab dikenai sanksi. Tahun lalu kepala eksekutif dan 3 karyawan dijatuhi hukuman penjara karena dianggap lalai dalam melakukan pengujian produk.
Namun beberapa hari lalu peristiwa ini kembali muncul di permukaan karena putusan pengadilan yang dikeluarkan baik dilihat dari sisi besaran hukuman denda bagi perusahaan dan juga kompensasi kepada keluarga korban dianggap melukai perasaan keluarga korban.
Perintah pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada keluarga korban dengan besaran sekitar Rp50 juta baik yang meninggal dunia maupun yang mengalami dampak mengkonsumsi obat batuk beracun ini tentunya sangat melukai perasaan keluarga korban.
Kontaminasi obat batuk yang berakibat banyaknya anak yang meninggal dan menjadi korban digolongkan sebagai peristiwa luar biasa dalam dunia farmasi yang seharusnya diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Oleh sebab itu peristiwa yang mengguncang dunia ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan yang dilakukan.
Peristiwa kejadian luar biasa tahun 2022 ini berdampak pada 200 anak yang menjadi korban termasuk yang meninggal dunia dan mengalami gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat batuk yang tercemar bahan beracun.
Putusan pengadilan ini memang meninggalkan nestapa bagi keluarga korban yang anak kesayangannya menjadi korban. Kompensasi yang diputuskan oleh pengadilan ini jauh sangat rendah jika dibandingkan dengan tuntutan keluarga korban yang meminta pengadilan memutuskan untuk menghukum perusahaan membayar ganti rugi sebesar Rp3 milyar bagi keluarga yang anaknya meninggal dunia dan Rp2.2 Milyar bagi keluarga anaknya yang mengalami gagal ginjal. Namun pengadilan Jakarta Pusat memutuskan ganti rugi bagi keluarga korban hanya sebesar Rp48 juta untuk setiap keluarga yang anaknya meninggal dan Rp57 juta untuk keluarga korban yang anaknya mengalami gagal ginjal.
Apa yang dilakukan oleh perusahaan obat ini dikategorikan sebagai tindakan penipuan sekaligus tindakan kriminal yang seharusnya dihukum sangat berat.
Penggunaan bahan kimia kelas industri yang berbahaya untuk keperluan farmasi merupakan tindakan yang sangat fatal dan tidak bertanggungjawab yang seharusnya terdeteksi melalui pengawasan pihak berwenang.
Putusan pengadilan yang menyatakan perusahaan dan pemasok bahan kimia bersalah seharusnya diikuti dengan denda dan kompensasi yang sangat besar karena sudah menyangkut kehilangan nyawa dan berdampak besar bagi kesehatan anak anak yang tidak berdosa.
Kehilangan anak sudah tentu tidak dapat diganti dengan uang, namun kompensasi yang memadai dan denda yang sangat besar bagi pemasok bahan kimia dan perusahan yang memproduksi obat batuk ini ini paling tidak dapat mengobati kepedihan keluarga bukan sebaliknya menambah nestapa keluarga korban.
Kejadian luar biasa ini tentunya tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pihak berwenang yang mempermalukan Indonesia di mata dunia.
Kejadian luar biasa gagal ginjal yang mengakibatkan kematian dan dampak permanen pada anak anak mencerminkan betapa lemahnya sistem pengawasan dan sudut pandang pengadilan yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus membuka kembali luka lama keluarga korban yang kehilangan anak tercintanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H