Walaupun pihak manajemen Cosmos menyatakan bahwa setiap artikel yang dibuat oleh AI ini telah diperiksa oleh komunikator sain yang terlatih dan telah diedit, namun tetap saja para para kontributor menilai tindakan ini merusak peran mereka sebagai jurnalis.
Dalam kasus ini Cosmos bukan merupakan pemegang hak cipta artikel ilmiah karena pencipta karya ilmiah lah yang memegang hak ciptanya. Sehingga apabila karya mereka digunakan oleh AI untuk menghasilkan konten baru tanpa meminta izin kontributor maka dinilai melanggar hak cipta.
Artificial Intelligence memang menjadi sumberdaya sekaligus alat yang sangat berharga dalam bidang jurnalis jika digunakan secara etis yang berarti pihak Cosmos seharusnya melakukan konsultasi dengan pada staf dan kontributor terkait penggunaan AI yang tidak diperuntukkan untuk menggantikan peran mereka.
Jadi dalam kasus ini artikel yang dihasilkan oleh AI dapat saja memenuhi etika jika jurnalis tetap memegang kendali editorialnya.
Jika penggunaan AI ini ditujukan oleh Cosmos untuk mengurangi biaya karena majalah ini sedang mengalami kesulitan keuangan, maka tindakan ini dapat dinilai melanggar etika.Â
Namun jika sebaliknya penggunaan AI ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas artikel yang ditulis oleh para kontributor, maka tindakan ini masih dapat ditolerir.
Apa yang terjadi di majalah Cosmos ini tentunya tidak merupakan kasus satu satunya karena sederetan kasus yang sama sedang melanda dunia jurnalis di seluruh bagian dunia.
Keberadaan AI memang tidak dapat ditolak karena memiliki manfaat yang sangat besar, namun penggunaan AI tanpa disertai etika dan logika dalam dunia jurnalistik akan berubah menjadi pisau tajam yang akan membunuh profesi jurnalistik untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H