Mengikuti gonjang ganjing kontroversi pernyataan bahwa perguruan tinggi adalah pendidikan tertier sehingga bukan merupakan kewajiban sangat menarik sekaligus menyesakkan dada. Hal yang jelas adalah pendidikan merupakan tanggung jawab negara dan tercantum di undang undang dasar yang wajib dipenuhi oleh negara dalam situasi apapun.
Meningkatnya nilai Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya ikutan lainnya bagi mahasiswa baru yang menimbulkan kehebohan memang merupakan konsekuensi meningkatnya biaya operasional pendidikan di Perguruan Tinggi.
Namun tentunya tidak semata mata harus dibebankan pada mahasiswa dan mengikuti sepenuhnya hukum pasar dengan peningkatan UKT yang cukup drastis.
Dalam hal ini negara di garis depan harus hadir bagi dalam bentuk regulasi maupun dalam bentuk dukungan dana pendidikan utamanya bagi mahasiswa yang kurang mampu. Konsep gotong royong dalam mencerdaskan anak bangsa memang sudah seharusnya dapat dipelihara dan dilestarikan.Â
Selama ini subsidi silang dari keluarga mahasiswa yang mampu ke mahasiswa yang kurang mampu memang sudah diterapkan. Demikian juga peran berbagai pihak swasta yang menyediakan berbagai skema beasiswa bagi mahasiswa sudah berjalan dengan baik.
Disisi lain biaya pendidikan yang semakin meningkat seperti misalnya biaya praktikum, biaya Listrik, air, biaya penyediaan bahan praktek dll memang dapat dimengerti dan menyebabkan peningkatan biaya operasional.
Namun jalan pintas menutupi kenaikan biaya operasional ini dengan jalan menaikkan biaya UKT secara drastis seharusnya tidak dilakukan dan perlu dipertimbangkan dengan sangat matang.
Gerakan berbagai kalangan untuk menentang peningkatan biaya UKT dan biaya ikutan lainnya ini seharusnya dijadikan sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak tepat yang terjadi di lapangan utamanya di perguruan tinggi ternama papan atas yang masuk kelompok Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH) yang tidak mau suka atau tidak suka menimbulkan stigma bahwa komersialisasi pendidikan telah terjadi.
Jika ditelisik kembali memang ada perguruan tinggi yang mahasiswanya umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas, namun ada PT yang mahasiswanya dari kalangan menengah ke bawah.Â
Jadi ketika ada anak bangsa yang cerdas dan mampu secara akademik namun datang dari keluarga yang kurang mampu, maka negara dan perguruan tinggi wajib hadir karena memang ini amanah yang dicantumkan di undang undang.
Di Indonesia pendidikan tinggi tidak boleh menerapkan hukum pasar dimana hanya orang mampu saja secara ekonomi berhak merasakan pendidikan tinggi.Â
Dalam hal ini penerapan hukum pasar akan mengerdilkan anak bangsa yang kurang mampu yang menimbulkan ketidakadilan sosial dan absennya tangung jawab negara dalam menyediakan pendidikan bagi anak bangsa.
Bagi keluarga miskin dapat menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi sampai lulus memberikan makna yang sangat besar. Sudah banyak sekali contoh bahwa keberhasilan menempuh pendidikan tinggi bagi keluarga miskin akan meningkatkan tidak saja perekonomian dan harkat martabat keluarga namun juga kebanggaan masyarakat di desanya.
Perlu disadari bersama bahwa banyak anak bangsa yang berasal dari keluarga miskin akhirnya harus merelakan impiannya untuk menempuh pendidikan tinggi karena tidak ada biaya pendidikan dan biaya hidup.
Saya sering menjadi panitia verifikasi penerimaan mahasiswa baru dan mendapat berbagai kasus ekstrim dimana ada banyak lulusan SMA yang dari sisi akademik sangat mampu tapi dari sisi ekonomi sangat tidak mampu.
Pernah suatu saat saya mewawancarai salah satu mahasiswa yang diterima namun ternyata bingung bagaimana cara bertahan hidup dan membiayai pendidikannya.Â
Anak tersebut menceritakan bahwa ibunya adalah buruh lepas cuku pakaian di desa nya yang penghasilannya tidak tetap dan ayahnya sudah meninggal dunia.Â
Ketika ditanya bagaimana caranya berangkat dan siapa yang membiayai ongkos trasportasinya, anak tersebut menunjukkan surat dari kepala desa bahwa masyarakat secara sukarela gotong royong membiayai transpornya namun tidak mampu untuk membiayai kuliahnya.
Ketika saya tanya nanti bagaimana membayar hutangnya pada masyarakat desa? Anak tersebut menyatakan akan membayar nya kelak nanti ketika dia sudah jadi sarjana. Dalam menghadapi kasus ekstrim seperti ini akhirnya diputuskan bahwa biaya pendidikan untuk anak ini ditetapkan nol rupiah sampai lulus dan sekaligus dicarikan beasiswa khusus untuk biaya hidupnya. Singkat cerita anak ini setelah 4 tahun lulus dengan cum laude, balik ke daerahnya dan mendapatkan pekerjaan yang sangat layak sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat karena dirinya merupakan sarjana pertama dari desanya.
Cerita tentang anak yang kurang mampu namun sangat mampu secara akademik ini bukanlah satu satunya, banyak anak bangsa yang senasib dengannya.Â
Jadi bisa kita bayangkan jika negara pihak perguruan tinggi ataupun pihak lainnya menutup mata dan menerapkan UKT dan biaya lainnya tanpa pertimbangan yang sangat matang, maka akan banyak anak bangsa yang tersisih dalam pendidikan karena kemiskinannya.
Memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak bagi anak bangsa yang telah diamanatkan oleh undang undang dan merupakan salah satu kewajiban negara yang harus dipenuhi.Â
Pengabaian akan hal ini baik oleh negara, insan pendidikan dan masyarakat dalam jangka panjang membuat negara ini terpuruk karena telah menelantarkan sumber daya manusia emasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H