Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pecah Kongsi Biden dan Netanyahu Picu Tragedi Kemanusiaan

13 Mei 2024   10:25 Diperbarui: 13 Mei 2024   11:35 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pecah kongsi Biden dan Netanyahu picu tragedi kemanusiaan . Photo: Reuters: Evelyn Hockstein 

Serangan Hamas tanggal 7 Oktober tahun lalu ke wilayah Israel mengubah segala galanya termasuk hubungan Amerika dan Israel yang selama ini dikenal sangat dekat. Di awal serangan ini Joe Biden berbicara sangat keras mengutuk serangan ini dan berjanji mempertahankan Istrael dengan cara apapun.

Namun dalam perkembangannya peristiwa tanggal 7 Oktober ini telah  berkembang tidak terkendali akibat serangan balasan Israel dan berdampak pada penduduk sipil di wilayah Gaza dengan korban jiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh dunia yang saat ini sudah memasuki fase tragedi kemanusiaan yang sangat kompleks dan tidak mudah  diatasi.

Jika tadinya pimpinan Israel sangat patuh pada Amerika, kini kepatuhan tersebut sirna karena Israel tidak lagi mendengar suara Amerika, termasuk saran agar Israel menghindari serangan yang memakan korban jiwa besar dan tidak melakukan operasi militer di Rafa, Gaza Selatan yang dipenuhi oleh pengungsi.

Jika sebagian besar dari kita berpendapat bahwa kebijakan Israel sepenuhnya ada di tangan Netanyahu, maka anggapan itu sangat keliru karena di dalam pemerintahan Israel saat ini ada Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang sangat dominan menentukan arah kebijakan Israel sekaligus menentukan nasib Netanyahu.

Artinya jika dunia berandai andai bahwa menyingkirkan  Netanyahu akan dapat menyelesaikan konflik Israel dan Hamas, tampaknya anggapan ini tidak akan pernah terealisasi, karena kedua orang ini merupakan kelompok garis keras Israel yang akan meneruskan kebijakan Netanyahu jika tersingkir dan menolak melakukan gencatan senjata  dengan Hamas. Bagi Netanyahu, keberadaan kedua orang ini dipemerintahannya merupakan kunci karena jika tidak didukung oleh mereka pemerintahan Netanyahu akan runtuh.

Kedua orang ini  sangat berperan dalam mendorong perang Israel di Gaza dan  menolak seruan gencatan senjata karena mereka tidak ingin ada  kesepakatan dengan Hamas. Bahkan ketika Joe Biden memutuskan menghentikan  untuk sementara pengiriman persenjantaan ke Israel dengan dalih serangan Israel terlalu  banyak membunuh warga sipil,  Ben-Gvir secara terbuka menyerang Keputusan Joe bIden ini dengan menyatakan bahwa Joe Biden mencintai Hamas.

Akhir akhir ini akibat tekanan di dalam negeri, Joe Biden semakin meningkatnya kritiknya terhadap kebijakan Netanyahu  yang membuat Perdana Mneteri Israel ini dihadapkan pada pada pilihan yang sangat sulit yang tidak pernah terjadi sebelumnya yaitu memilih patuh pada Amerika yang merupakan pendukung sejati Israel atau memilih dua politisi sayap kanan yang ada di permerintahannya (Smotrich dan Ben-Gvir)  yang menolak keberadaan orang Palestina.

Netanyahu tampaknya berada dalam pilihan yang sangat sulit karena terbukti ketika Joe Biden memperingatkan Israel untuk tidak melakukan operasi militer di Rafah, Netanyahu tetap melakukannya.  Keputusan  Netanyahu ini tentunya membuat gusar Joe Biden dan juga sebagain warga Amerika karena merasa diabaikan oleh Israel yang selama ini didukung penuh oleh Amerika.

Jika dulu Joe Biden dalam segala pernyataannya mendukung apapun yang dilakukan Israel, namun kini secara terbuka mengkritik  bahwa warga sipil yang terbunuh akibat operasi militer Israel terlalu banyak. Penghentian pengiriman bantuan senjata ini  dimaksudkan oleh Amerika agar tidak digunakan untuk menyerang pemukiman penduuk yang akan menimbulkan  jumlah korban jika yang lebih besar lagi.

Dalam situasi seperti ini tampaknya solusi konflik Israel dan Palestina  dalam bentuk dua negara berdampingan  yang banyak didukung dunia internasional masih harus melalui jalan yang penuh krikil tajam,  karena resolusi 181 yang dikeluarkan oleh PBB di tahun 1947 yang menyerukan agar negara Israel dapat hidup berdampingan dengan negara Palestina sampai saat ini masih mengalami banyak kendala untuk merealisasikannya.

Pertanyaan yang muncul sekarang apakah  jalur diplomatik di PBB yang baru saja  memutuskan meningkat status Palestina di PBB  yang didukung oleh 143 negara (catatan :   Amerika Serikat, Israel dan tujuh negara lainnya memilih tidak terhadap peningkatan staus tersebut, sementara 23 negara abstain) akan berdampak positif pada perdamaian? Paling tidak keputusan ini mencerminkan rasa frustrasi dunia terhadap konlik Israel dan Hamas yang berpanjngan dan  telah memakan korban jiwa yang  sangat besar

Dari sisi Israel hambatan terealisasinya solusi dua negara ini justru datang dari Netanyahu karena karir politiknya dibangun atas ketidak setujuan berdirinya negara Palestina. Hasil kesepakatan antara Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Ketua PLO Yasser Arafat  terkait   perjanjian perdamaian Israel-PLO pada tahun 1993 tampaknya masih jalan ditempat.

Banyak kalangan yang menilai bahwa perubahan sikap  Joe Biden hanya terbatas pada kata kata saja dan belum sampai pada mengambil tindakan tegas karena masih terjebak pada berbagai kepentingan poitik yang dihadapinya utamanya pemilihan presiden yang semakin dekat.

Jika dibandingkan dengan sikap presiden lAmerika ainnya maka sikap presiden Ronald Reagen dianggap yang paling tegas terhadap Israel utamanya ketika Israel di tahun 1982 melakukan pengeboman di Beirut  dan ketika itu Ronald Reagen langsung menelpol  Perdana Menteri Israel Menachem Begin dengan ultimatum yang sangat tegas yaitu menghentikan pengeboman atau Amerika menarik bantuan militer. Ultimatum Reagen ini berhasil karena dalam hitungan jam Perdana Menteri Israel menghentikan pengeboman.

Joe Biden diperkirakan tidak dapat mengambil sikap tegas seperti yang dilakukan oleh Reagen karena dalam menghadapi pemilihan presiden mendatang nasibnya akan sangat ditentukan oleh kelompok lobi Israel yang diperkirakan akan marah jika Joe Biden mengambil keputusan untuk menghentikan bantuan militernya kepada Israel.

Pecah kongsi Joe Biden dan Netanyahu ini membuat konflik Israel dan Hamas semakin tidak menentu, apalagi setelah Israel memutuskan melakukan operasi militer di Rafah walaupun ditentang oleh dunia internasional. Oleh sebab itu diperlukan berbagai upaya agar konflik ini dapat diredakan  dan korban masyarakat sipil dapat dikurangi.  Hal lain yang lebih penting adalah jumlah pengungsi yang mencapai jutaan saat ini  dalam kondisi memprihatinkan dari sisi kekurangan gizi, layanan  kesehatan yang apa adanya dan pendidikan yang terhenti total.

Sejarah  mencatat bahwa konflik Israel dan Hamas ini merupakan salah satu perjalanan  sejarah kemanusiaan yang paling kelam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun