Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

30 Tahun Perjanjian Oslo dan Gagalnya Pembebasan Palestina

14 September 2023   08:28 Diperbarui: 14 September 2023   10:37 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (kiri), Persiden Amerika Bill Clinton (tengah) dan Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) menadatanganai perjanjian Oslo yang bsesejarah pada tanggal 13 September 1993. (Foto: Gary Hershorn/Reuters.)

Tanggal 13 September 1993 merupakan hari sejarah yang memberikan secercah harapan perdamaian Pelestina dan Israel ketika Bill Clinton dengan sikap angkuh menyaksikan penandatanganan yang dikenal sebagai perjanjian Oslo oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat di Gedung Putih, Washington. 

Penandatanganan ini disertai dengan jabatan tangan kedua musuh bebuyutan ini. Tidak hanya sampai disitu saja bahkan setelah berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, Yasser Arafat juga mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan dua petinggi Israel lainnya yang menjadi tokoh setral konflik.

Ketika itu dunia meyambut penandatangan Perjanjian Oslo ini dengan gegap gempita karena menganggap bahwa dengan perjanjian ini konflik Palestina dan Israel akan segera berakhir, bahkan buah dari perjanjian ini di tahun 1994 Arafat dan Rabin dianugerahi Nobel Perdamaian.

Warga Palestina ketika itu menaruh harapan yang sangat besar karena mereka menganggap bahwa dalam waktu dekan negara mereka akan berdaulat walaupun dalam kondisi wilayahnya hanya 22 % saja dari wilayah mereka sebelum pendudukan Israel.

Harapan warga Palestina ini kelak dikemudian hari akan terwujud dengan berdirinya negara Palestina, namun konflik Palestina dan Israel ini tidak pernah reda.

Perjanjian Oslo mensyaratkan kepemimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diasingkan akan diizinkan untuk kembali hanya ke wilayah yang diduduki Israel pada tahun 1967 yaitu di Tepi Barat dan Gaza dan akan diizinkan untuk membentuk pemerintahan sementara yang dikenal dengan nama Palestina sebagai Otoritas Palestina untuk jangka waktu lima tahun.

Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (kiri), Persiden Amerika Bill Clinton (tengah) dan Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) menadatanganai perjanjian Oslo yang bsesejarah pada tanggal 13 September 1993. (Foto: Gary Hershorn/Reuters.)
Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (kiri), Persiden Amerika Bill Clinton (tengah) dan Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) menadatanganai perjanjian Oslo yang bsesejarah pada tanggal 13 September 1993. (Foto: Gary Hershorn/Reuters.)

Perjanjian Oslo yang menjadi harapan besar ini ternyata dalam perjalanannya gagal membentuk negara Palestina yang dipimpin oleh pemimpin yang diharapkan oleh rakyat Palestina memperjuangkan pembebasan Palestina. 

Di lain pihak bagi kelompok ekstrimis Israel penjanjian ini dianggap sebagai kelemahan pimpinan Israel yang lemah berujung pada pembunuhan Yitzhak Rabin.

Road map perjanjian Oslo ini yang semula dirancang dengan tujuan mencapai perdamaian dalam waktu lima tahun, ternyata harus melalui jalan berliku yang penuh dengan kerikil tajam yang membuat membuat konflik Palestina dan Israel ini masih berlanjut 30 tahun kemudian.

Salah satu sumber konflik yang belum terpecahkan dan bahkan dianggap semakin mengemuka sejak Perjanjian Oslo ini adalah masalah wilayah yang sampai saat ini bahkan menjadi masalah utama pemicu konflik baru karena Israel terus melakukan ekspansi pendudukannya dengan membangun pemukiman baru di wilayah yang dipersengketakan.

Jika ditelisik lebih dalam lagi tampaknya Perjanjian Oslo ini hanya didasarkan pada niat kedua belah saja untuk melihat sisi damainya saja dari konflik yang berkepanjangan ini dan belum memikirkan kesepakatan dan mencari cara pemecahan akar permasalahan yang ada, sehingga dalam perjalanannya penjajian ini seringkali mengalami jalan buntu dan tidak jarang berujung pada konflik berdarah seperti peritiwa intifada di tahun 2000 yang memakan banyak korban jiwa.

Terlepas dari kegagalan demi kegagalan dalam merealisasikan Perjanjian Oslo ini tampaknya baik Palestina maupun Israel perjanjian ini memiliki makna tersendiri. 

Bagi pemerintah Palestina Penjanjian Oslo ini lebih digunakan mendapatkan dukungan internasional dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang ada sekarang.

Sedangkan bagi Israel Penjanjian Oslo ini digunakan untuk melegitimasi pemerintahannya dan juga untuk kepentingan pembangunan perekonomian utamanya pada pemerintahan Benjamin Netanyahu dengan gaya kepemimpinannya yang ekstrem dan rasis yang membutuhkan Pemerintah Palestina untuk menjaga warganya tetap damai yang akan berdampak pada keamanan bagi warga Israel.

Sementara itu bagi Amerika Perjanjian Oslo ini juga sangat penting dan sangat kental kepentingannya untuk menjaga pengaruhnya dalam jangka panjang di wilayah Timur Tengah yang walaupun saat ini terbukti pengaruh tersebut sudah mulai luntur dengan hengkangnya Amerika dari Irak dan Afghanistan.

Jika dianalisis lebih lanjut maka Perjanjian Oslo ini tidak saja memberikan pengaruh besar pada Palestina, Israel, dan Amerika saja namun juga pada geopolik yang ada di wilayah ini. 

Dengan jiwa dan semangat perdamaian yang ada di Perjanjian Oslo ini, kini negara-negara Arab yang dulunya menentang Israel kini berlomba-lomba memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Israel dengan tujuan utama untuk kepentingan keamanan dan perekonomian regional.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Perjanjian Oslo merupakan pintu perdamaian yang bertujuan baik, namun pada kenyataannya 30 tahun berlalu sejak ditandatanganinya perjanjian ini kegagalan demi kegagalan terus terjadi. 

Tampaknya para arsitek Penjanjian Oslo ini tidak tertarik pada pendirian negara Palestina dan juga pembebasan Palestina dari pendudukan Israel, namun lebih tertarik pada pemimpin Palestina yang dapat dikendalikan dan kooperatif dan hal inilah yang membuat perlawanan akar rumput Palestina terus berlanjut sampai saat ini.

Perjanjian Oslo ternyata gagal membawa perdamaian bagi Palestina namun justru sebaliknya menjadi batu sandungan terbesar bagi pembebasan Palestina.

Terlepas dari berbagai kerikil tajam dan jalan berliku yang dihadapi pasca penandatanganan Perjanjian Oslo ini karena konflik Palestina dan Israel yang telah berlangsung selama 100 tahun ini, paling tidak menyadarkan warga Palestina dan Israel bahwa konflik yang berkepanjaangan tidak akan membuahkan manfaat dalam meraih impian mereka di masa depan.

Sebaliknya semangat jalan damai yang disepakati oleh kedua belah pihak menjadi satu satunya pilihan untuk membangun keamanan dan perekonomian warga kedua negara untuk menatap cahaya kehidupan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun