Rupanya pemilu yang baru saja usai dan berlangsung  secara demokratis tidak dapat menyelesaikan carut marut dan kompleksitas politik di Thailand.
Pengumuman pengunduran diri dari dunia politik Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dari kalangan militer yang sudah memerintah selama 9 tahun dan menduduki kursinya dengan cara kudeta tadinya sempat membuat lega masyarakat Thailand untuk sementara.
Sudah menjadi rahasia umum demokrasi di Thailand tidak berjalan dengan baik karena adanya dominasi militer yang sangat kuat dalam dunia politik.
Jadi tidak heran jika  dalam perjalanannya hasil pemilu pun dapat digagalkan oleh pihak militer karena dalam undang-undang, militer memiliki jatah kursi khusus di parlemen tanpa harus diperebutkan di pemilu.
Dengan situasi seperti ini pemilu yang telah usai di bulan Mei lalu yang penuh kejutan inipun  kini hasilnya semakin tidak menentu.
Ketidakpastian ini karena munculnya kuda hitam dari partai reformis Thailand Move Forward Party yang secara mengejutkan memenangi pemilu namun suaranya masih tidak mencukupi untuk memenangi pemilihan perdana Menteri di parlemen.
Pita Limjaroenrat, pemimpin reformis Thailand memang memenangi pemilu namun saat ini akan memasuki babak baru yaitu babak ketidakpastian.
Kemenangan Pita Limjaroenrat ini memang tidak lepas dari kampanye pemilu gerakan reformasinya yang menolak aturan dan dominasi  militer konservatif yang telah diberlakukan sejak kudeta pada 2014.
Kemenangan ini tentunya mencerminkan bagaimana rakyat Thailand sudah jenuh dengan cengkeraman militer dalam dunia politik negara gajah putih ini yang membelenggu hak politik rakyat.