Minggu ini di berbagai berita mainstream dihiasi dengan berita permintaan suku Baduy untuk mematikan internet dengan alasan untuk melindungi tradisi dan mencegah dampak negatif pengaruh dunia luar terhadap kehidupan mereka yang telah dipertahankan dalam kurun waktu yang lama.
Berita permintaan mematikan internet oleh suku Baduy ini menjadi pemberitaan media Barat seperti misalnya di pemberitaan ABC Australia.
Suku Baduy yang dikenal dunia sebagai "Amish of Asia" oleh media barat ini memilih untuk tinggal di hutan dan menolak teknologi, uang dan pendidikan konvensional.
Mereka tinggal di tiga desa dengan luasan wilayah mencapai 4.000 hektar dan mobilitasnya dilakukan dengan hanya berjalan kaki.
Keberadaan suku Baduy ini menjadi kebanggaan dan keistimewaan tersendiri bagi Indonesia  disamping 1.300 etnis lainnya, sehingga tidak heran jika di tahu 1990 kawasan pemukiman suku Badui ini dideklarasikan sebagai cagar budaya.
Ancaman  terhadap tradisi leluhur
Kekhawatiran suku Baduy yang selama ini memilih hidup selaras dengan alam dengan tradisi yang mengakar secara turun menurun ini memang dapat dimengerti karena dampak dari internet ini sangat luar biasa dan akan berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan.
Pendapat bahwa pembangunan Menara telekomunikasi di dekat pemukiman suku Baduy dapat menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan mereka yang telah dipelihara generasi demi generasi harus dihargai sebagai upaya melestarikan gaya hidup Suku Baduy yang telah terjaga dari generasi ke generasi.
Gaya hidup suku Baduy yang memilih hidup di hutan, akrab dengan alam, menolak uang, menolak teknologi,  dan pendidikan konvensional ini memang harus dihargai bahkan dilestarikan karena tidak banyak suku asli Indonesia yang sampai saat ini dapat bertahan dengan tradisi leluhur yang dipelihara dengan  baik.
Suku Baduy yang diperkirakan berjumlah 26 ribu orang ini secara turun menurun telah menghuni wilayah pedalaman Banten dan sebagian dari mereka yaitu Baduy luar memang ada sebagian yang sudah mengadopsi teknologi.
Namun  suku Baduy Dalam lebih memilih untuk mempertahankan kesakralan tradisi dan menghindari pengaruh kehidupan komtemporer.
Menurut pendapat perwakilan suku Badui keberadaan smartphone telah berdampak negatif bagi suku Baduy.
Keberadaan Menara Telekomumunikasi yang di bangun di dekat wilayah pemukiman mereka dinggap sebagai ancaman  terhadap gaya hidup mereka dan juga moral anak muda yang mungkin akan tergoda untuk menggunakan internet.
Masuknya internet  ke wilayah suku Baduy ini memang seperti membuka kotak pandora yang dampaknya terhadap keberadaan dan kelestarian kehidupan suku Baduy ini sulit diprediksi.
Kekhawatiran akan pengunjung dan turis yang dapat mengakses internet di wilayah pemukiman suku Baduy dan mempertontonkan konten konten yang bertentangan dengan adat dan tradisi suku Baduy akan menjadi permasalahan yang sangat serius.
Penolakan suku Baduy akan keberadaan internet dan Menara Komunikasi di wilayah pemukiman mereka merupakan babak baru perbedaan  pandangan akan perbaikan kehidupan suku Baduy antara pihak luar dengan suku Baduy itu sendiri.
Di satu sisi pihak luar beranggapan bahwa keberadaan internet akan berdampak posisif bagi kemajuan  suku asli ini, namun di sisi lain  suku Baduy menganggap bahwa masuknya teknologi ini akan mengancam kelestarian budaya dan kehidupan yang selama ini mereka pertahankan turun menurun.
Permintaan suku Baduy dalam untuk menutup akses internet ini memang harus diperhatikan secara serius  oleh pemerintah daerah.
Permintaan untuk memindahkan  Menara komunikasi di laur  jangkauan wilayah suku Baduy dalam harus dipandang sebagai permintaan yang sangat beralasan dan mendasar  untuk menghormati dan melestarikan budaya dan gaya kehidupan asli yang sudah terancam punah di Indonesia.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H