Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Gelombang Kedua Revolusi Iran Semakin Nyata

5 Desember 2022   08:42 Diperbarui: 6 Desember 2022   07:40 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran Iran turun ke jalan-jalan di Ibu Kota Teheran selama melakukan protes terhadap tindakan aparat kepada Mahsa Amini, beberapa hari setelah dia meninggal dalam tahanan polisi.| AFP via VOA INDONESIA Kompas.com

Kematian gadis remaja Mahsa Amini petengahan September lalu yang masih berumur 22 tahun ketika berada dalam tahanan polisi menjadi pintu masuk gelombang protes warga Iran yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Kasus kematian Amini yang dianggap melanggar aturan berpakaian yang telah ditetapkan oleh pemerintah merupakan puncak frustrasi generasi muda Iran yang selama ini terdampak berat oleh aturan ketat pemerintah terhadap kebebasan berpendapat.

Disamping itu sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Amerika dan sekutunya berdampak besar para perekonomian Iran yang membuat masyarakat semakin sulit kehidupannya.

Rasa frustrasi sebagian masyarakat Iran utamanya generasi muda dapat diartikan sebagai fenomena gunung es pergerakan akar rumput yang menuntut dilonggarkannya aturan pemerintah terkait kebebasan berpendapat dan juga kelonggaran aturan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mengatur hampir semua sendi kehidupan masyarakat.

Fenomena gunung es ini tampak sekali ketika gelombang demi gelombang protes melanda Iran yang sebelumnya tidak pernah terjadi secara massal.

Masyarakat telah mengabaikan ancaman pemerintah terkait dengan konsekuensi dari protes ini karena bertentangan dengan makna revolusi Iran yang dimulai pada tahun 1979 yang menumbangkan pemerintahan monarki yang didukung oleh Amerika.

Sejak terjadinya revolusi ini kehidupan masyaraat Iran berada dalam aturan yang sangat ketat termasuk cara berpakaian di tempat umum dan kebebasan berpendapat.

Gelombang protes di Iran semakin tidak terkendali. Photo: Twitter/@Vahid
Gelombang protes di Iran semakin tidak terkendali. Photo: Twitter/@Vahid

Gelombang protes yang terjadi di Iran dapat dianggap sebagai peristiwa luar biasa karena walaupun pemerintah telah memberi ultimatum keras pada gerakan protes ini ternyata para demonstran masih terus melakukan aksinya.

Akibatnya sampai saat ini sudah ada 18.000 demonstran yang ditangkap dan ditahan serta diperkirakan telah memakan korban jiwa lebih dari 470 orang.

Tidak pelak lagi peristiwa ini merupakan peristiwa terbesar sejak terjadinya revolusi Iran.

Sebagai dampak dari gelombang protes ini, disebutkan bahwa untuk pertama kalinya kantor Polisi Penegak Moral yang bertugas menegakkan aturan berpakaian warga Iran ditempat umum ditutup dan aktivitasnya dikurangi oleh pemerintah.

Polisi Penegak Moral yang kenal sebagai "Gasht-e Ershad" ini dibentuk lebih dari 15 tahun lalu ketika Iran di bawah pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad.

Polisi Penegak Moral ini biasanya berpatroli di jalan dan taman-taman untuk mencari warga yang melanggar aturan berpakaian seperti berpakaian longgar dan menutup kepala.

Jika dianggap melanggar maka pelanggar dapat diberikan peringatan keras atau ditahan untuk selanjutnya "dididik" agar dapat berpakaian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Sejak kematian Amini dan gelombang protes yang melanda Iran, Jumlah polisi penegak moral ini mulai menurun jumlahnya dan jumlah wanita yang keluar rumah tanpa kerudung yang dianggap bertentangan dengan hukum semakin meningkat.

Bagi para demonstran penutupan kantor Polisi Penegak Moral ini lebih dianggap sebagai salah satu langkah pemerintah untuk meredam gelombang protes.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kematian Amini hanya merupakan pintu masuk gerakan gelombang protes sebagai luapan rasa frustasi utamanya generasi muda Iran.

Impitan ekonomi akibat sanksi Barat sangat berpengaruh pada kualitas hidup, lapangan pekerjaan, dan perekonomian Iran secara umum.

Disamping itu kebebasan berpendapat yang sangat dibatasi merupakan masalah tersendiri bagi generasi muda Iran.

Di lain pihak pemerintah Iran lebih menganggap bahwa gelombang protes ini merupakan aksi yang didalangi Amerika, Israel, Uni Eropa, dan Arab Saudi dalam upaya menggoyang stabilitas pemerintahan revolusi Iran.

Dalam situasi seperti ini pemerintah Iran seharusnya menyadari bahwa revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979 lalu yang membuahkan berbagai aturan yang sangat ketat yang mengatur sendi sendi kehidupan warga Iran kini mendapat tantangan dari warganya sendiri utamanya gerasi muda.

Dalam era keterbukaan global ini tentunya tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menutup total informasi terkait di luar negeri nya.

Demokrasi dan kekebasan merupakan dua tema yang diusung oleh para demontran merupakan dua wilayah yang tentunya bertentangan dengan marwah revolusi Iran.

Selama ini tindakan represif pemerintah terhadap setiap gerakan sosial yang politik selalu berhasil ditumpas oleh pemerintah. Namun kali ini gelombang protes sudah terlalu besar untuk ditumpas.

Gelombang protes ini jika tidak terkendali dapat saja menjadi pemicu revolusi kedua Iran akibat masyarakat mengalami kesuliatn ekonomi dan kekangan hal politik dan kekebasan berpendapatnya.

Pemicu Revolusi Iran di tahun 1979 sangat berbeda dengan gelombang protes yang terjadi saat ini.

Di tahun 1979 kehidupan mewah Shah Iran dan mengasingkan tokoh tokoh agama menjadi pemicunya. Disamping itu gelombang anti Amerika yang mendukung pemerintah Iran saat itu semakin membesar.

Oleh sebab itu tidak heran jika kembalinya Ayatollah Khomeini dianggap sebagai simbul revolusi Iran untuk menumbangkan rezim monarki.

Kini gelombang protes tersebar yang terjadi di Iran sejak revolusi tahun 1979 mengusung tema yang sangat berbeda.

Tema yang diusung adalah tema universal yang menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu masalah kesulitan ekonomi, kebebasan mengatur diri sendiri serta kebebasan berpendapat.

Ancaman yang dilakukan pemerintah untuk menindak tegas para demonstran ternyata mempan untuk menakut-nakuti para demonstran.

Fenomena ini bisa dibaca sebagai perubahan sikap sebagian warga Iran yang menganggap produk revolusi Iran tahun 1979 sudah tidak relevan lagi dan memerlukan perubahan kembali. Namun sayangnya pemerintah Iran saat ini tidak melihat fenomena tersebut dengan lebih jernih.

Pemerintah menganggap bahwa produk revolusi Iran harus ditegakkan dan lebih menganggap bahwa gerakan protes ini merupakan ulah intelejen negara Barat yang bertujuan untuk menggoyang pemeritah Iran.

Perbedaan dua kutub ini jika tidak dapat bertemu akan memicu gelombang protes yang lebih besar lagi sekaligus memaksa pemerintah untuk melakukan tindakan represif.

Oleh sebab itu kekhawatian akan terjadinya revolusi kedua Iran dapat saja menjadi kenyataan karena Iran merupakan salah satu negara yang masih belum terpengaruh oleh gelombang Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah yang mengubah total tatanan politik dan sosial di kawasan ini.

Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun