Di tengah tengah situasi perekonomian dunia yang tidak menentu akibat pandemik dan juga invasi Rusia ke Ukrainia, negara negara yang tergolong sebagai negara dengan kekuatan ekonomi utama dunia mulai menaikkan suku bunganya untuk mencoba menahan inflasi yang semakin tidak terkendali.
Sayangnya langkah menaikkan suku bunga ini tidak dilakukan oleh Jepang karena Bank of Japan (BOJ) diprediksi akan tetap mempertahankan kebijakan suku bunga yang berkisar nol persen.
Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda memperingatkan bahwa Jepang tidak dapat menaikkan  suku bunganya lebih tinggi karena ekonomi Jepang saat ini sangat lemah.
Oleh sebab itu kebijakan bank sentral Jepang lebih memfokuskan  untuk menjaga tingkat inflasi pada tingkat 2%.
Langkah inilah yang dinilai merupakan salah satu yang menyebabkan keterpurukan Yen lebih lanjut karena terjadinya perbedaan suku bunga di Jepang dan Amerika.
Sebagai perbandingan Amerika menaikan  suku bunganya secara agresif dari hanya 0.25% menjadi 3.25% sebagai langkah untuk mengatasi meroketnya harga harga bahan pokok dan bahan bakar.
Suku bunga yang lebih tinggi cenderung membuat mata uang lebih menarik bagi investor, sehingga nilai mata dollar Amerika semakin menguat. Sebaliknya tingkat suku bunga nol persen membuat Yen menjadi kurang dilirik investor dan berakibat jatuhnya nilai Yen.
Dalam kurun waktu 20 tahun ini pemerintah Jepang tidak melakukan intervensi di pasar mata uang global dalam menjaga nilai tukar Yen.
Namun dalam situasi yang terus memburuk ini akhirnya pemerintah Jepang menggelontorkan uang sebanyak US21 milyar untuk menahan kejatuhan nilai Yen.
Langkah ini memang dapat membantu menahan kejatuhan Yen hanya dalam beberapa saat saja, namun karena fundamental perekonomian Jepang yang buruk, pelemahan Yen terun berlanjut.
Sampai saat ini saja nilai tukar yen terhadap dolar Amerika sudah berada di level lebih dari 150 yen.