Laporan WWF terbaru yang dirilis minggu ini yang menyebutkan bahwa sejak tahun 1970 lalu terjadi penuruan jumlah spesies yang ada di bumi ini sebesar 69% yang jika laju penurunan ini dibiarkan maka dunia akan kehilangan biodiversitas global untuk selamanya dan akan berdampak langsung pada kesehatan bumi yang kita huni ini.
Dampak perubahan iklim global yang menghancurkan kini sudah banyak dirasakan oleh penduduk bumi di berbagai belahan dunia.
Hujan, banjir, tanah longsor, serta kekeringan telah melanda Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini.
Di Pakistan banjir besar yang melanda dengan daya rusaknya sangat tinggi serta memakan korban jiwa yang sangat besar merupakan contoh lainnya.
Gelombang panas dan kebakaran hutan melanda kawasan Eropa akhir-akhir ini tercatat merupakan dampak cuaca ekstrim yang terburuk dalam 15 tahun terakhir ini.
Demikian juga kekeringan yang melanda kawasan Afrika dan Kenya mencatat rekor terburuk selama 40 tahun terakhir.
Tren Kerusakan Bumi
Ironisnya dalam situasi kritis seperti ini penebangan hutan di hutan paru-paru dunia di Amazon Brazil dan di kawasan Asia masih terus berlangsung bahkan mencapai rekor tertinggi selama 6 tahun terakhir ini.
Tren kerusakan bumi ini menurut laporan WWF semakin meluas di mana populasi satwa liar seperti mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan semuanya menyusut dengan laju penurunan mencapai 69%.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kawasan tropis yang merupakan sumber keanekaragaman hayati yang paling tinggi juga mengalami penurunan populasi spesies satwa liar yang sangat mengkhawatirkan.
Penurunan populasi satwa liar ini tentunya akan berdampak langsung bagi kehidupan 8 milyar penduduk bumi karena sebagian besar kehidupannya tergantung pada satwa liar ini.
Sendi-sendi kehidupan penduduk bumi seperti stabilitas sosial, kesejahteraan, dan kesehatan penduduk bumi akan terdampak langsung perubahan iklim global ini.
Sebagai contoh penurunan populasi satwa liar air tawar mengalami penurunan 83%, sehingga penduduk bumi semakin sulit untuk memperoleh ikan dan satwa air tawar lainnya untuk keperluan kehidupan keseharian mereka.
Laporan terbaru WWF ini tentu saja mengejutkan dunia karena laju penurunan kenakeragaman satwa liar ini mencapai tingkat yang belum pernah terbayang sebelumnya dengan tingkat persentasi yang sudah mencapai titik kritis.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa dunia selama ini abai melakukan upaya untuk menurunkan laju kemusnahan satwa liar ini.
Jika upaya dunia gagal dalam membatasi pemanasan global yaitu 1.5 derajat C, maka menurut WWF kawasan Amazon dan Afrika akan kehilangan 50% dan 75% keanekaragaman satwa liarnya.
Penurunan keanekaragaman satwa liar ini menurut analisis WWF akan berdampak langsung pada penurunan aset alam yang akan merugikan dunia setidaknya sebesar US $406 miliar per tahun.
Diprediksi tren kerugian ini akan semakin meningkat pada tahun 2050 mendatang sehingga jika tidak dilakukan langkah yang drastis kerugian ini akan mencapai US $9 triliun.
Berbagai komitmen pimpinan dunia di berbagai pertemuan iklim global khususnya COP 26 PBB di Glasgow tahun lalu 120 pimpinan dunia sepakat untuk mengambil langkah untuk mengurangi laju perubahan iklim global, namun di lapangan pengrusakan lingkungan masih terus berlangsung.
Oleh sebab itu, pesimisme dunia akan berbagai komitmen ini menghantui dunia sekaligus mempertanyakan efektivitas pertemuan dan komitmen yang telah dibuat pada pertemuan keanekaragaman hayati dunia ke-15 Konferensi (COP 15)mendatang yang direncanakan akan dilaksanakan pada akhir tahun ini.
Salah satu faktor yang paling krusial dalam menurunkan laju pernurunan keanekaragaman hayati dunia ini adalah biaya pelestariannya.
Sudah menjadi rahasia umum jika kebiasaan konsumsi negara-negara kaya selama ratusan tahun terakhir ini telah memiliki andil yang sangat besar dalam hilangnya sumber daya alam dunia di berbagai belahan dunia.
Oleh sebab itu tentunya negara maju memiliki kewajiban moral untuk membantu negara miskin dan negara berkembang melestarikan keanakeragaman hayati ini setelah selama ratusan tahun mereka memiliki andil yang sangat besar bagi kehancuran alam.
Dalam mengatasi krisis alam ini tentunya tidak ada pilihan lain bahwa ekonomi hijau yang berkelanjutan harus diterapkan oleh negara negara di dunia dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan jasa alam seperti udara dan air bersih yang akan memberikan insentif bagi negara negara berkembang yang telah berupaya untuk menjaga alamnya untuk kepentingan dunia.
Teknologi dan ilmu pengetahun yang ada saat ini telah terbukti dapat menyelamatkan spesies hewan dan tumbuhan yang hampir punah asalkan disertai dengan upaya keras dan niat serta tekad dunia yang kuat.
Asa itu memang selalu ada seperti yang diungkapkan oleh Director General, WWF International Marco Lambertini berikut:
“It’s a red alert for the planet. But we have the tools to reverse much of this loss — if we have the will.”
Tren menurunan keanekaragaman satwa liar ini memang sangat mengkhawatirkan, namun di tengah tengah pesimisme ini dunia masih memiliki sedikit optimisme untuk menyelamatkan dunia demi masa depan manusia yang lebih aman, menjanjikan, dan berkelanjutan.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H