Hasil penelitan ini tentunya merekomendasikan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan tindakan nyata  untuk mengatasi resistensi anti mikroba ini  untuk menyelamatkan jiwa lebih banyak lagi baik melalui penelitian untuk menghasilkan obat baru untuk mengatasi fenomena ini dan juga untuk memperbaiki sistem kesehatan yang ada.
Tindakan  ini paling tidak harus mengoptimalkan penggunaan antibiotik yang ada, mengambil tindakan  yang lebih  untuk memantau dan mengendalikan infeksi serta  menyediakan lebih banyak dana untuk mengembangkan antibiotik dan sistem perawatan baru.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa angka kematian tertinggi akibat resistensi antimikroba ini ternyata ada di wilayah Sub Sahara Afrika dengan tingkat kematian 24 per 100 ribu penduduk  dan Asia Selatan dengan 22 per 100 ribu penduduknya.
Sementara itu jika difokuskan di negara yang berpenghasilan tinggi di kawasan Eropa Barat maka tingkat kematiannya juga ada tahap yang menghawatirkan yaitu 56 kematian dari setiap 100 ribu penduduknya.
Sebagaimana dengan kasus Covid-19 fenomena resitensi antimikroba ini menurut pakar kesehatan memerlukan komitmen global dalam pengendalinnya termasuk upaya pencegahannya seperti mencuci tangan, pengawasan serta investasi yang memadai dalam perawatan penderita  yang mengalami resistensi anti mikroba ini.
Ibarat fenomena bola salju, jika dunia terlambat mengantisipasi dan mengatasi dampak dari resistensi anti  mikroba ini maka ke depan fenomena  ini akan menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar yang dihadapi dunia.
Rujukan :Â Satu, Dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H