Jika dulunya merasa cukup puas minum kopi tubruk  di warung, maka sekarang minum kopi harus di Caf yang ternama yang tentunya harganya berkali lipat dibandingkan dengan di warung kopi.
Tuntutan gaya hidup yang semakin meningkat inilah yang membuat tambahan penghasilan yang didapatnya akan semakin tergerus pengeluaran yang semakin besar  juga.
Ibarat candu, meningkatnya pendapatan seolah harus diikuti dengan peningkatan gaya hidup. Â Kondisi seperti inilah yang membuat walaupun seseorang mendapat penghasilan yang sangat layak selalu merasa kurang akibat tuntutan pengeluaran yang lebih besar.
Faktor kedua menurut pakar psikologi yang mendorong seseorang melakukan korupsi adalah rasa percaya diri yang berlebihan.
Rasa percaya diri yang berlebihan ini membuat dirinya merasa sebagai orang "penting" yang selalu haus akan kekayaan.
Jika kekayaan tersebut dicari melalui cara yang halal tentunya tidak akan menjadi masalah. Â Namun sayangnya sering kali faktor kedua ini mendorong seseorang terperangkap pada situasi untuk mendapatkan kekayaan dengan cara apapun.
Tidak hanya sampai disini saja rasa percaya diri yang berlebihan ini terkadang ditambah dengan  anggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan.
Kalaupun suatu saat ketahuan, Â orang ini masih percaya bahwa konsekuensi hukum yang akan diterima akan ringan.
Hal yang lebih mengkhawatirkan apabila korupsi ini sudah berubah menjadi budaya yang membuat seseorang memiliki simpati dan menjadi bagian dari kelompok yang melakukan korupsi.
Solidaritas yang tumbuh ini memang sangat berbahaya karena akan menumbuhkan rasa  kesetiakawanan dengan cara saling menutupi dan juga menutup mulut walaupun dirinya tau tindakan korupsi sedang berlangsung.
Jika kita tengok kilas balik sejarah maka kita akan menemukan fakta bahwa tindakan dan budaya korupsi bukanlah sesuatu yang baru.