Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kisruh Politik, Kemiskinan, dan Kerusuhan Afrika Selatan di Tengah Pandemi Covid-19

15 Juli 2021   10:26 Diperbarui: 16 Juli 2021   09:02 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Mandela masih hidup mungkin bapak bangsa Afrika Selatan yang meruntuhkan dinding politik apartheid ini sudah dipastikan akan meneteskan kembali air matanya melihat negara yang dicintainya porak poranda.

Mandela memang berhasil membawa bangsa ini keluar dari dunia kegelapan politik rasial, namun hasil perjuangannya yang sangat panjang ini tampaknya tidak seperti yang diharapkan.

Superioritas kelompok kulit putih masih ada, tidak hanya sampai disitu saja bahkan menimbulkan kelompok elit pribumi baru  yang semakin melebarkan jurang perbedaan. Kelompok baru ini muncul akibat jurang kemiskinan yang semakin melebar.

Dalam kondsi seperti ini dimana  ketimpangan sosial dan ekonomi semakin nyata maka negara ini memang tinggal menunggu waktu saja rasa ketidakadilan itu  meledak dan meluas dampaknya.

Laju pengangguran di negeri ini memang sudah sangat kronis yaitu meningkat 32% membuat Afrika Selatan dikategorikan sebagai negara yang paling timpang kesejahterannya dengan Koefisien Gini 73% dan lebih dari 50% dari masyarakatnya hidup dalam kemiskinan.

Situasi ini semakin memburuk ketika negara ini dihantam gelombang pandemi Covid-19 yang memakan korban jiwa lebih dari 2500 orang dan membuat negara ini harus melakukan lockdown beberapa kali yang membuat perekonomian negara ini semakin terpuruk.

Pemulihan ekonomi tampaknya akan melalui jalan panjang karena prediksi pertumbuhan GDP hanya mencapai 3.1% pada tahun 2021 ini.

Masyarakat Afrika Selatan memang hidup dalam ketidakpastian karena kriminalitas meningkat tajam dan ketidakpastian membuat negara ini seolah tanpa hukum dan semakin banyak masyarakat negara ini yang masuk ke dalam kelompok miskin.

Kasus Jacob Zuma Hanya Pemicu

Para penegak hukum d negara ini lupa bahwa menegakkan hukum memang merupakan supremasi hukum namun konsekuensi penegakan hukum ini tampaknya tidak diperhitungkan dengan baik.

Menghukum mantan presiden Afrika Selatan Jacob Zuma periode 2009-2018 selama 15 bulan karena dianggap tidak patuh pada pengadilan menimbulkan rasa  ketidakadilan bagi sebagian masyarakat terutama pada pengikutnya.

Jacob Zuma memang sedang dalam proses peradilan atas 18 tuduhan korupsi yang melibatkan dirinya yang memang secara hukum harus diproses untuk mendapatkan keadilan. Namun keterburu-buruan pengadilan mengukum Jacob Zuma dan memenjarakannya atas tuduhan tidak mematuhi perintah pengadilan bukan pada substansi  tindakan korupsinya menjadi pemicu gelombang  masalah yang lebih besar lagi.

Di tahun 2013 Jacob Zuma pernah dinyatakan tidak bersalah atas tindakan korupsi, sehingga anggapan bahwa pengungkapan kembali kasus korupsi ini lebih bermuatan politik.

Jadi sangat dapat dimengerti jika  para pengikut Jacob Zuma menganggap bahwa proses peradilan mantan presiden ini lebih pada masalah politis dan sebagai politik balas dendam

Walaupun Jacob Zuma ini tidak lagi menjadi presiden namun di luar politik Zuma merupakan tokoh kelompok suku yang terbesar dan berpengaruh di Afrika Selatan yaitu Zulu yang masih memiliki pengikut yang jumlahnya sangat besar.

Keputusan yang tergesa-gesa inilah akhirnya memicu api dalam sekam yang sudah ada selama ini.

Wajah Afrika Selatan yang sebenarnya terungkap pada minggu ini ketika kerusuhan yang awalnya dipicu oleh penahanan Jacob Zuma muncul ke permukaan sebagai perwujudan  rasa frustasi rakyat atas kemiskinan yang semakin mencengkeram negara ini.

Dalam enam hari ini kerusuhan, penjarahan dan kekacauan merebak ke kota-kota besar sebagaimana yang pernah terjadi ketika Mandela melakukan reformasi menentang penerapan politik apartheid sebelumnya.

Hasilnya hanya dalam beberapa hari saja telah memakan korban jika sebanyak 72 nyawa dan pihak keamanan telah menangkap lebih dari 1.200 orang yang dianggap perusuh.

Penjarahan di gudang bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari semakin meluas, pembakaran juga terjadi di gurang-gudang strategis yang menyimpan kebutuian bahan pokok.lainnya.

Kerusuhan yang semakin tidak terkendali ini membuat presiden yang saat ini sedang berkuasa, Cyril Ramaphosa mengerahkan lebih dari 2.500 tentara ke Gauteng dan Kwazulu-Natal yang merupakan dua provinsi yang menjadi pusat kerusuhan ini.

Di tengah-tengah kerusuhan ini toko-toko berlomba-lomba untuk menutup kegiatan bisnisnya walaupun belum tentu juga aman dari tindakan penjarahan ini. Sampai hari ini diperkirakan lebih dari 200 mall dan pusat perbelanjaan ditutup akibat kerusuhan dan penjarahan.

Penjarahan kini meluas tidak saja menargetkan bahan pangan, namun sudah meluas pada obat-obatan, elektronik, pakaian, dan lain lainnya.

Kerusuhan yang sedang berjalan di Afrika Selatan ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyakat akan mulai menipiskan ketersediaan pangan.

Sebagai dampaknya di wilayah yang masih aman masyarakat sudah mulai antre untuk membeli makanan karena logistik terganggu.

Satu-satunya yang dapat menyelesaikan kerusuhan saat ini adalah penegakan hukum dengan segala konsekuensinya.

Jika pihak keamanan tidak dapat menegakkan hukum maka bukan tidak mungkin negara ini akan mengalami krisis kemanusiaan  yang tidak saja menyangkut  masalah perut  namun juga akan memicu  ketegangan politik  yang tentunya menimbulkan dampak yang lebih besar lagi.

Pemilihan umum sudah diambang mata, reformasi ekonomi yang dicanangkan oleh presiden yang sedang berkuasa saat ini di tengah-tengah pandemi akan mendapat tantangan besar karena negara ini perlu penyelesaian krisis ini segera.

Konstelasi politik sudah dipastikan akan berubah dengan adanya kerusuhan ini yang akan mengubah peta kekuatan politik di negara ini.

Kerusuhan di Afrika Selatan ini membuktikan bahwa ketika rakyat lapar, maka rakyat akan abai terhadap hukum dan ketika hal itu terjadi maka ketidakstabilan terjadi dan akan bergulir seperti bola salju yang tidak dapat diprediksi ujungnya.

Semoga rakyat Afrika Selatan masih ingat pengorbanan Mandela dalam memperjuangkan kesetaraan dan masih ingat ketika air mata Mandela tumpah  pernah menyatukan bangsa ini.

Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun