Namun cengkeraman dan bayang bayang militer sangat kuat sehingga dapat dikatakan kekuasaan Aung San Suu Kyi dalam memerintah sangat terbatas.
Penyerangan dan pengusiran kaum minoritas Rohingya di tahun 2017 lalu yang menggemparkan dunia merupakan bukti masih kuatnya pengaruh militer di Myanmar.
Kudeta militer yang terjadi beberpa bulan lalu ini kembali menunjukkan kebrutalan militer Myanmar.
Duta besar Myanmar yang diberhentikan Kyaw Zwar Minn memang secara terang terangan menentang kudeta militer yang terjadi di negaranya.
Secara terang terangan di belakang mobil dinas nya tertempel poster  Aung San Suu Kyi dan kata kata dukungannya agar kekuasan pimpinan resminya dipulihkan.
Kyaw Zwar Minn secara keras mengkritisi kudeta militer yang terjadi di negaranya pada tanggal 1 Februari yang lalu dan meminta Aung San Suu Kyi dibebaskan.
Akibat dikuncinya kantor kedutaan yang sekaligus menjadi tempat tinggal duta besar ini, Kyaw Zwar Minn terpaksa bermalam di mobil dinasnya.
Jika dipandang dari segi hirarki maka seorang Atase Militer dalam menjalankan tugas diplomatiknya harus tunduk di bawah koordinasi Duta Besar.
Oleh sebab itu tindakan Atase militer mengunci kedutaan dan tidak memperbolehkan Duta besar masuk kantor lagi dengan alasan sudah diganti menggambarkan betapa kekuasaan militer Myanmar tidak saja menguasi sendi kehidupan di dalam negerinya namun juga perwakilan nya di dunia internasional.
Tindakan mengunci kantor dan mengumumkan bahwa wakil dubesnya daingkat sebagai pelaksana tugas Duta besar menunjukkan bagaimana militer Myanmar benar benar mendominasi warga sipilnya.
Apa yang terjadi di London ini memang menjadi dilemma bagi Inggris karena secara hukum Internasional tindakan pemerintah Myanmar untuk mengganti Duta Besarnya ini memang legal, namun tindakan memberhentikan secara mendadak dengan latar belakang penentangan duta besar pada rezim militer yang melakukan kudeta dapat saja dipandang sebagai tindakan bullying.