Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Fenomena Melajang Kaum Milenial Tiongkok

30 Januari 2021   12:03 Diperbarui: 30 Januari 2021   12:33 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir  jumlah perkawinan di Tiongkok menurun tajam yaitu sekitar 41% yaitu tahun 2013 yang sebanyak 23,8  juta turun menjadi hanya 12,9 juta di tahun 2019 lalu.

Fenomena menunda perkawinan tidak hanya terjadi pada wanita namun juga pada pria.

Sebagai gambaran coba kita lihat rata rata usia perkawinan di tahun 1990  sampai tahun 2016 yang bergeser dari kisaran 22 menjadi 25 tahun untuk wanita dan 24 menjadi 27 tahun untuk pria.

Penundaan usia perkawinan ini bahkan lebih ekstrim terjadi di kota besar.  Sebagai contoh rata rata usia kawin di Shanghai di tahun 2015 saja sudah mencapai 28 tahun untuk wanita dan 30 tahun untuk pria.

Pergeseran Nilai

Zaman memang telah merubah pandangan generasi milenial Tiongkok terhadap perkawinan.  Pergeseran pandangan  dari yang sepenuhnya bertumpu pada nilai budaya dan tradisi ke arah  realita dimana kalangan milenial Tiongkok banyak yang bekerja dan mengejar karirnya di kota kota besar.

Jika dulu usia bagi 30 tahun bagi wanita Tiongkok yang belum menikah merupakan sesuatu yang memalukan bagi dirinya dan keluarga karena dianggap tidak laku dan tidak mampu, maka kini anggapan itu sudah mulai meluntur seiring dengan berjalannya waktu.

Penundaan usia kawin sudah mulai umum terjadi dan pihak keluarga yang dulu bersikeras memegang tradisi dan nilai tradisi kini sedikit demi sedikit  sudah mulai memaklumi pandangan generasi milenial Tiongkok.

Jika dicari benang merahnya, penuruan angka perkawinan ini tentunya tidak lepas dampak kebijakan pemerintah Tiongkok yang diterapkan puluhan tahun lalu untuk mengontrol pertumbuhan penduduk dengan sangat ketat dan juga perubahan atitud wanita muda Tiongkok untuk menunda perkawinan.

Di tahun 1979 sebagai upaya mengontrol populasi, pemerintah Tiongkok menerapkan kebijakan  one-child policy.  Kebijakan ini ternyata berdampak besar bagi perkembangan ekonomi Tiongkok karena jumlah angkatan kerja mulai tahun 2014 mengalami penurunan drastis.

Sebagai dampaknya saat ini jumlah laki laki generasi milenial yang masuk usia perkawinan melebihi jumlah wanita, dimana kelebihannya  sebanyak 30 juta laki laki.

Ketidak seimbangan gender ini disamping disebabkan oleh kebijakan one child policy, juga terkait pada pandangan dan budaya bahwa anak laki laki lebih diharapkan jika dibandingkan dengan anak perempuan.

Mengingat dampak jangka panjang dari kebijakan ini, pemerintah Tiongkok mengubah kebijakan tersebut dengan cara membolehkan satu keluarga memiliki 2 anak mulai  tahun 2016.

Perubahan atitud  ini juga terkait dengan lunturnya pandangan bahwa wanita pada akhirnya merupakan bagian penting sebagai penghasil anak dan penerus keturunan semata.

Pergeseran ini juga tidak lepas dari fenomena  dimana wanita  lebih berpendidikan dan lebih mandiri, sehingga bagi sebagian wanita milenial Tiongkok hidup sendiri bukan lagi menjadi masalah dari segi ekonomi dan gaya hidup.

Sebagai dampaknya di kalangan wanita milenial ini banyak yang lebih mengedepankan mengejar karir dan pengembangan dirinya sebelum akhirnya kelak suatu saat  mereka akan kawin,

Bagi kalangan wanita milenial ini perkawinan bukan hanya sekedar memiliki status hukum dan memiliki anak, namun juga sederetan konsekuensi seperti pengorbanan  karir, terjebak sebagai wanita yang mengurus anak di rumah dan melakukan rutinitas  pekerjaan rumah tangga yang akan dihadapinya.

Disamping itu tampaknya budaya perkawinan melalui perjodohan dimana pihak keluarga lebih berperan kini sudah mulai luntur terutama di kota kota besar.

Sebenarnya ada produk hukum yang melarang perkawinan berdasarkan perjodohan ini termasuk juga perkawianan di bawah tangan yang dikeluarkan di tahun 1950, namun pada kenyataannya sampai sekarang praktek perkawinan atas dasar perjojodan dan pengaturan keluarga masih saja terjadi.

Bagi kebanyakan kalangan milenial yang dibesarkan tidak lagi di dalam keluarga inti dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi, perkawinan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban namun lebih kepada pilihan individu.

Faktor eksternal yang juga cukup  berperan adalah toleransi masyarakat di kota besar terhadap hidup bersama, sex sebelum kawin, tersedianya alat kontrasepsi dan juga aborsi yang membuat sebagian di kalangan remaja milenial ini yang lebih memilih menjalin hubungannya tanpa ikatan perkawinan.

Kalangan milenial ini lebih menganggap perkawinan sebagai hubungan emosional antara pria dan wanita bukan hanya sekedar untuk menghasilkan anak.

Perkawinan bagi kalangan milenial Tiongkok bukanlah merupakan hal yang murah, sebab tradisi yang mengharuskan membeli rumah sebelum kawin yang masih berlaku di sebagian besar kelompok masyarakat.  Hal ini tentunya  merupakan sesuatu yang sangat memberatkan karena akan memerlukan  biaya yang  sangat banyak yang bagi sebagian kaum  milenial ini tidak terjangkau.

Sebagai gambaran memiliki rumah yang dekat dengan fasilitas umum seperti child care terutama di kota besar merupakan suatu kemewahan yang bagi  sebagian  kaum milenial ini karena sangat sulit dijangkau.

Di sebagian besar wilayah pedesaan membayar mahar perkawinan masih merupakan tradisi yang sangat kuat dan biasanya menyangkut jumlah uang yang sangat besar  dan juga biaya untuk membeli rumah sebagai syarat perkawinan yang akhir akhir ini biayanya semakin meningkat tajam.

Mengkhawatirkan

Ketidak seimbangan gender dan fenomena menunda perkawinan ini tentunya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah mengingat pengalaman dan kesalahan kebijakan  masa lalu seperti one child policy yang berdampak pada perekonomian Tiongkok.

Sudah banyak contoh negara negara di wilayah Asia yang terlebih dulu memiliki permasalahan serius ini seperti di Jepang, Kora Selatan, Singapura dan Taiwan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi perekonomian negara akibat berkurangnya angkatan kerja produktif.

Bagi pemerintah memang tidak gampang menyelesaikan permasalahan ini karena menyangkut pilihan hidup kalum milenial yang tentunya tidak dapat dibendung kecuali dengan kekerasan penerapan perangkat hukum.

Kini kaum milenial Tiongkok sudah mulai menentukan jati dirinya dalam hal menentukan pada usia berpa mereka akan kawin.  Pergeseran fenomena sosial ini tentunya secara perlahan namun pasti menggerus tradisi dan nilai buadya yang terkait dengan perkawinan.

Zaman memang sudah berubah oleh sebab itu sangat sulit untuk menilai apakah fenomena  ini merupakan sesuatu yang baik atau buruk, karena hanya waktu sajalah yang akan mene ntukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun