Bagi pembaca yang pernah mengenyam Sekolah Rakjat (SR) atau yang dikenal sekarang sebagai Sekolah Dasar(SD) Â di era tahun 1960 an tentunya masih ingat dengan buku bacaan wajib sekolah terpopuler yaitu Gembira Membatja.
Buku belajar membaca ini memang fenomenal karena dirancang untuk setiap kelas mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 dengan materi dan cerita yang menggugah dan menyuburkan imajinasi siswa
Sebagai contoh salah satunya adalah  buku Gembira Mambatja untuk kelas 3 diterbitkan oleh Ganaco Bandung di era tahun 1964 dan dikarang oleh A.H. Harahap dan Oejeng Soewargana setebal 44 halaman  diperuntukkan untuk buku wajib bahan bacaan siswa sekolah dasar kelas 3 yang akan dibahas di artikel ini.
Hal lain yang sangat menarik di era tersebut buku wajib selalu dapat diwarikan ke adik kelas nya karena kurikulumnya jarang sekali berubah. Â Sehingga di dalam satu keluarga buku bacaan wajib atau yang dikenal dengan buku teks wajib saat ini tidak perlu membeli setiap tahun, cukup menunggu warisan kakak yang naik kelas saja.
Hal lain yang juga menakjubkan adalah materi bacaan yang disajikan sangat sederhana namun disesuaikan dengan cerita nyata kehidupan keseharian yang sarat dengan nasehat dan pesan pesan etika dan sopan santun.
Sebagai contoh untuk masalah kesehatan di salah satu jilid buku Gembira Mambatja ada cuplikan bahan bacaan berikut:
"Terbit liurku melihat kolak
Dijual orang di tepi jalan
Namun teringat nasehat emak
Disitu aku dilarang makan"
Cerita sangat sederhana dengan ilustrasi seorang ibu penjual jajanan yang duduk di pinggir jalan menjual dagangannya  dan anak sekolah yang dari kejauhan memandang penjual tersebut.
Sangat luar biasa sekali bukan pesan yang tersirat dibagian ini?  Siswa disamping dilatih  kemampuan membacanya juga dilatih mencerna cerita dan  diingatkan untuk tidak jajan sembarangan dan selalu mengingat nasehat emak (ibu).
Contoh lain di buku Gembira Membatja Djilid 3, ada topik bacaan yang mencoba menggambarkan arti makna kata "cepat" dengan 3 babak bacaan pendek sebagai berikut:
Ham-pir Tje-la-ka
Ta-di  pa-gi  ka-mi  ma-u  ke-to-ko  bu-ku
Ka-mi  ber-dja-lan  di-tepi  se-ka-li
Ka-re-na ba-njak o-to di-ja-lan be-sar i-tu
Se-o-rang a-nak me-nje-be-rang ja-lan i-tu
i-a ku-rang  ha-ti-ha-ti
Ham-pir me-la-jang ji-wa a-nak i-tu
Bacaan inipun  sangat sederhana karena disamping melatih siswa mengeja dengan benar melalui cara yang benar memotong motong kata  namun juga mengolah pikir sekaligus menanamkan nasehat terkait perlunya kehati hatian di jalan dengan selalu memegang norma dan kebiasaan berjalan di pinggir jalan.
Kata "cepat" diperkenalkan oleh penulis kepada siswa dengan membandingkan kecepatan oto (mobil) yang jauh lebih cepat di jalan sehingga berbahaya kalau lalai di jalan.
Topik pengenalan kata "cepat" dilanjutkan dengan bahan berikut:
Pin-tjang Dja-lan-nja
Lu-tju se-ka-li dja-lan Pak A-man I-tu
Ke-napa  i-a ber-dja-lan de-mi-ki-an ?
Ka-ta ba-pak i-a men-da-pat ke-tje-la-ka-an
Ke-ti-ka i-a ma-sih ke-tjil
i-a di-lang-gar o-to
Pa-tah ka-ki-nya
Bagian kedua ini memberikan peringatan kepada siswa akan akibat suatu kelalaian di jalan raya yang berdampak buruk bagi kesehatan.
Kembali dalam bacaan ini diangkat  peran bapak sebagai orang tua untuk mengingatkan anaknya akan  contoh jika sesuatu yang berbahaya yang telah dinasehatkan oleh orangtua dilanggar.
Ada sedikit rasa humor untuk membuat siswa tersenyum melalui ungkapan "Lu-tju se-ka-li dja-lan Pak A-man I-tu" namun jauh sekali dari sikap menghina orang yang cacat.
Di bagian ketiga untuk menggambarkan kata "cepat" siswa dilatih membaca bagian ini:
Ber-a-du Tje-pat
Pa-da su-a-tu ha-ri si Mu-sa dan si A-li ber-se-peda ke-lu-ar ko-ta
Ti-ba ti-ba ber-ka-ta si A-li :
Mu-sa ma-ri ki-ta ber-a-du tje-pat !
Ba-ik ka-ta Musa; Si-a-pa  ka-lah,
di-a mem-be-li se-mang-ka
Se-mang-ka i-tu ki-ta ma-kan ber-sama sa-ma
........
Satu du-a ti-ga se-ru Si A-li
La-dju se-ka-li dja-lan se-pe-da i-tu
Se-a-kan a-kan me-re-ka ter-bang.
La-ma ke-la-ma-an ber-ku-rang te-na-ga Si A-li
i-a ka-lah
Ba-rang-ka-li ka-mu ku-rang ma-kan ta-di pa-gi
Ka-ta Si Mu-sa ter-ta-wa tawa
Pada bagian ini olah pikir siswa dipertajam terkait kata "cepat" dengan membandingkan kecepatan sepeda musa dan Ali.
Hal lain yang sangat menarik, bahwa disetiap potongan bacaan ini selalu diselipkan etika, norma dan moral serta kebersamaan dengan mengambarkan makan semangka bersama sama seusai adu cepat. Candaan Musa setelah menang bukan ditujukan untuk menghina yang kalah, namun justru sebagai cara mengakrabkan diantara sesama teman dengan memperlihatkan sportivitas.
Jaman memang berubah tapi seharusnya pesan moral, etika, sopan santun yang menjadi akar budaya timur harus tetap dilestarikan bukan sebaliknya  seolah lepas terkoyak dari akarnya.
Hal lain yang juga diperkaya oleh bahan bacaan jadul ini adalah imajinasi. Seperti cerita di atas, bagaimana dua anak bersepeda ke luar kota. Â Mungkin anak jaman sekarang tidak pernah terbayang keluar kota bersepeda.
Saat itu yang namanya kota tentu saja tidak seramai kota saat ini karena keluar wilayah desa saja ke desa tetangga yang lebih ramai dapat dianggap sebagai berwisata ke luar kota.
Jika kita simak lebih dalam lagi pesan pesan moral seperti, toleransi, persahabatan, kebersamaan, hormat pada orangtua serta patuh pada etika dan norma selalu tersirat disampaikan di buku wajib Gembira Mambatja mulai dari jilid 1 sampai jilid 6.
Artinya selama sekolah dasar nasehat tentang kebaikan itu selalu tetanam di siswa Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar.
Sungguh disayangkan jika generasi Indonesia  kehilangan pesan kehidupan dasar yang ditanamkan sejak kecil, sehingga tidak heran saat ini walaupun dari segi  pengetahuan siswa milenial  mungkin melebihi  siswa jaman jadul, namun dari segi etika dan norma siswa milenial sudah dipastikan telah kehilangan akar rumput humanisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H