Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, Australia tercatat sebagai salah satu tujuan belajar terfavorit bagi mahasiswa kawasan Asia. Alasannya kualitas pendidikan mendunia, tuition fee, dan biaya hidup yang relatif bersaing jika dibandingkan dengan menempuh pendidikan di negara lain seperti AS dan beberapa negara di Eropa.
Keuntungan yang dimiliki Australia inilah yang membuat negara ini mendapatkan pendapatan yang luar biasa dari mahasiswa internasional yang menempuh pendidikan di Australia.Â
Jumlah mahasiswa internasional di Australia yang sedang booming membuat penerimaan devisa dari sektor pendidikan ini menjadi salah satu penerimaan dari 5 besar sumber penerimaan utama negara kangguru ini.
Haluan Politik dan Rasisme
Namun tampaknya kombinasi antara pandemi, sikap politik pemerintah, dan juga sikap sebagian masyarakat Australia berdampak pada kehancuran pada apa yang telah selama ini dibangun dengan susah payah dan berdampak besar terhadap penurunan jumlah mahasiswa internasional secara drastis.
Sebagai gambaran jumlah pelamar visa student periode Januari sampai dengan Juli hanya mencapai 72.397 visa yaitu menurun sebanyak 40% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Penurunan ini semakin drastis ketika Australia mengumumkan lockdown di bulan April 2020 lalu. Sehingga di bulan Juni misalnya jumlah pelamar visa hanya sebanyak 4.062 visa saja dibandingkan dengan periode yang sama yang mencapai sekiar 30.000 visa.
Menurunnya jumlah mahasiswa internasional ini tidak lepas dari sikap politik Perdana Menteri Australia yang secara terbuka mengambil sikap berlayar dalam satu perahu dengan Amerika dan beberapa negara di Eropa dalam upaya melakukan penyelidikan terhadap Cina terkait sumber virus Covid-19 dan apabila terbukti akan meminta tanggung jawab Cina dari segi kerugian materil.
Sikap pemerintah Australia inilah yang memicu ketegangan baru antara Cina dan Australia di samping perang dagang yang selama ini terjadi antara Cina dan Amerika dimana Australia juga mengambil sikap sehaluan dengan Amerika.
Dalam dunia pendidikan sikap politik Australia yang memusuhi Cina ini memang sangat vital, karena jumlah mahasiswa asing terbesar di Australia itu berasal dari Cina.
Hal ini diperparah dengan sikap sebagian masyakat Australia yang menunjukkan sikap rasisme yang terbuka pada orang yang berwajah Asia karena dianggap sebagai biang kerok penyebaran virus Covid-19.
Jadi tidak heran sudah banyak kekerasan yang terjadi yang menimpa mahasiswa asing di tempat umum mulai dari ucapan kasar sampai dengan tindakan fisik. Sebagian besar abuse di tempat umum karena rasisme ini menimpa mahasiswa Cina yang menempati urutan pertama dalam hal jumlah mahasiswa Internasional di Australia.
Situasi yang berubah sangat drastis ini dari mahasiswa internasional yang dianggap sebagai bagian dari ekonomi Australia yang sangat strategis menjadi "pihak terbuang" dalam kondisi pandemi saat ini.
Perlakukan buruk yang menimpa mahasiswa internasional ini akhirnya berdampak pada perasaan tidak nyaman lagi menempuh pendidikannya di Australia.
Sikap ini diperlihatkan langsung dengan cara untuk memberikan peringatan pada mahasiswa yang akan melakukan studinya di Austria untuk tidak datang ke Australia.
Sikap pemerintah Australia ini memang menjadi efek bola salju karena ketegangan dengan Cina berdampak pada penurunan volume dagang dan juga jumlah turis yang datang ke Australia dalam jumlah besar. Selama ini Cina merupakan mitra dagang utama Australia bagi dari segi produk pertanian maupun pendidikan dan turisme.
Dampak yang Menghancurkan
Menurunnya  jumlah mahasiswa internasional secara drastis di Australia ini berdampak besar pada kelangsungan hidup perguruan tinggi di Australia yang menyandarkan penerimaan utamanya dari keberadaan mahasiswa asing.
Sebagai contoh kesehatan keuangan ANU sebagai salah satu universitas papan atas dunia kini mulai goyah terdampak Covid-19 dan mulai merasionalisasi personalianya alias melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut catatan tenaga kerja yang telah di PHK sudah mencapai 465 orang termasuk di dalamnya 250 yang secara sukarela mengundurkan diri.
Pemutusan hubungan kerja ini terkait dengan penghematan budget sebesar AUD $103 juta setiap tahunnya mulai dari tahun ini sampai dengan tahun 2023 akibat penurunan pendapatan universitas sebagai dampak Covid-19.
Dampak penurunan pendapatan yang dialami ANU juga terjadi di perguruan tinggi ternama lainnya di Asutralia seperti di University of Sydney, Curtin University dan universitas lainnya. Sebagai contoh University of New South Wales juga telah memberhentikan dan menghilangkan 265 posisi atau sekitar 3,8% dari jumlah pekerjanya.
Masalahnya tidak hanya sampai pada keberlangsungan hidup perguruan tinggi saja namun juga berdampak besar pada ekonomi lokal dimana universitas itu berada, karena penurunan jumlah mahasiswa berarti juga penurunan pendapatan masyarakat dan ekonomi lokal.
Sebagai gambaran kontribusi mahasiswa internasional dalam perekonomian Australia tahun lalu mencapai AUD $37,6 milyar. Jadi keberadaan mahasiswa internasional tidak hanya memberikan keuntungan bagi perguruan tinggi saja namun berdampak besar pada sektor lainnya.
Sebut saja asuransi kesehatan, transportasi, belanja keseharian, kunjungan keluarga yang kesemuanya memberikan kontribusi besar pada perekonomian Australia.
Penurunan pendapatan Australia akibat menurunnya mahasiswa Internasional diperkirakan akan mencapai AUD$19 milyar setiap tahunnya sampai paling tidak tiga tahun ke depan.
Dalam tahun ini saja jumlah tenaga kerja yang berkerja di sektor pendidikan tinggi yang mengalami pemutusan hubungan kerja akan mencapai 12.500 orang akibat terdampak penurunan mahasiswa Internasional.
Merasa Dieksploitasi
Sikap dan persepsi umum mahasiswa internasional yang ada di Australia umumnya merasa diekspoitasi mengingat sebelum pandemi keberadaan mahasiswa internasional di Australia didewa-dewakan karena berkontribusi besar dalam perekonomian.
Namun ketika pandemi, mahasiswa internasional terimbas sikap pemerintah dan sebagian masyarakat Asutralia yang memusuhi mahasiswa Internasional melalui sikap bermusuhan dan rasisme.
Hasil survey yang dilakukan oleh Migrants Worker Justice Initiative menunjukkan bahwa sebanyak 59% responden yang berjumlah 5000 mahasiswa internasional menyatakan tidak lagi merekomendasikan Australia sebagai tempat dan tujuan studi.
Persentasi ini semakin tinggi di kalangan mahasiswa Cina dan Nepal, dua negara yang memiliki jumlah mahasiswa terbanyak di Australia. Angka di kalangan mahasiswa Cina mencapai 76% dan di kalangan mahasiswa Nepal mencapai 69% yang menyatakan tidak merekomendasikan studi di Australia.
Bulan madu mahasiswa internasional di Australia memang tampaknya sudah usai. Prediksi bahwa penurunan jumlah mahasiswa internasional di Australia akan segera pulih dengan berakhirnya pandemi corona ini tampaknya tidak akan terjadi.
Kalaupun terjadi pemulihan jumlah mahasiswa internasional maka jumlahnya tidak akan pernah mencapai puncak jayanya.
Mahasiswa internasional Australia terutama yang berasal dari Asia memang sudah terluka dengan sikap pemerintah dan sebagian masyarakat Australia melalui tindakan rasisme.
Australia memang dalam perjalanan sejarahnya selalu menempatkan dirinya dalam dua dunia. Jika menyangkut kepentingan hak asasi manusia dan solidaritas akan selalu mengambil sikap sehaluan dengan Amerika dan Eropa atas dasar white supremacy-nya, namun jika menyangkut masalah ekonomi dan kehidupannya Australia akan menyatakan negaranya merupakan bagian dari Asia.
Sikap ambigu seperti inilah yang membuat Australia tidak akan pernah diterima dengan lapang dada sebagai bagian dari Asia oleh negara negara di Asia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H