Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berseberangan Jalan Setelah Tidak Menjabat, Fenomena Apa Lagi Ini?

19 Juni 2020   19:24 Diperbarui: 19 Juni 2020   20:18 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat ketika Trump dengan bangganya memperkenalkan John Bolton sebagai penasehat kemanan nasional Amerika? John Bolton memang memiliki rekam jejak yang panjang dalam hal keamanan nasional, dia memang punya sejarah malang melintang di era pemerintahan yang berbeda.

Namun apa yang terjadi ketika  Trump memecatnya sebagai penasehatnya karena adanya perbedaan tajam dalam kebijakan yang menyangkut Afghanistan dan Korea Utara?  John Bolton menghilang sejenak dan minggu ini dia membuat berita kembali dengan membuat buku yang sebagian dari isinya menguak isi perut Gedung Putih sekaligus hal hal yang sensitif terkait pembicaraan Trump dan sisi negatif mantan atasannya nya, yang tentunya jika masih menjabat ada hal yang dapat dikategorikan dalam rahasia negara.

Fenomena Bolton-Trump ini bukanlah peristiwa langka namun tampaknya mulai umum terjadi. Seorang pejabat yang diangkat pastilah memiliki rekam jejak dan pengalaman yang panjang dan menyakinkan.  Itu sudah pasti, karena jika tidak pastilah seseorang tidak akan sampai ke puncak karirnya, terutama yang terkait dengan   kesetiaan menjaga rahasia negara yang terkait dengan jabatan yang diembannya.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah  kenapa sebagain orang yang "terpilih" ini setelah tidak lagi menjabat tampak ekstrim pendapat dan tutur kata serta sikapnya yang jauh sekali dan bertolak  belakang ketika dia sedang menjabat?

Fenomena ini tampaknya tidak saja terjadi di kalangan sipil namun juga di kalangan militer.  Bagaimana seorang militer dengan yang telah mencapai puncak karir sekalipun segera setelah tidak menjabat lagi  ada yang mengambil sikap berseberangan?

Pertanyaan yang paling mendasar adalah jika memang kebijakan atasannya tidak berkesesuaian dengan hati nuraninya mengapa tidak ditolak saja jabatan yang ditawarkan?

Ada kalangan yang berpendapat  bahwa ungkapan sikap yang berseberangan ini terkait dengan era pemerintahan dan kebijakan politik yang berbeda.  Argumen ini dapat saja dijadikan sebagai alasan perubahan sikap, namun perlu diingat bahwa sebagai seorang pejabat sebelum memegang  jabatan disumpah atas nama agama yang dianutnya untuk menjaga rahasia negara.

Fenomana perubahan prilaku yang sangat drastis setelah tidak lagi menjabat salah satunya dapat saja disebabkan oleh fenomena yang dinamakan Post Power Syndrome.

Post power syndrome merupakan gejala psikologis yang cenderung bersifat negatif yang umumnya terjadi pada orang yang tadinya memiliki kekuasaan atau jabatan dan sekarang tidak lagi memilikinya.

Gejala umum post power syndrome meliputi perasaan kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, putus asa, ketergantungan, kekosongan dan kerinduan.

Sering kali gejala ini disertai dengan perasaan menurunnya harga diri, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari kelompok. Kebanyakan gejala ini terjadi pada orang yang baru saja menjalani masa purnabakti (dapat diartikan juga tidak menjabat lagi)  akibat minimnya persiapan mental bahwa purnabakti itu secara alamiah harus dialami dan dijalani.

Bagi orang yang dapat menerima masa purnabakti sebagai sesuatu yang alamiah, maka dia akan terhindar dari post power syndrome ini karena dia bahagia telah menyelesaikan tugas dan pengabdiannya dengan sukses dan lancar.

Sebaliknya bagi yang tidak bisa menerima kondisi purnabakti ini maka dia akan mengalami ketidakpuasan dan kekecewaan yang luar biasa karena semua kekuasaan dan jabatannya telah "dirampas" oleh orang lain.

Bagaimana tidak, dia merasa sangat terhormat pada saat memiliki pangkat dan jabatan. Di mana-mana orang seolah-olah berebut menghormati dan melayaninya. Mau duduk ada yang menyiapkan kursi, mau makan ada yang menyiapkan, mau masuk mobil ada yang membukakan mobil, setiap berkunjung ke suatu tempat orang berebut menyalaminya dan tampak sangat hormat sekali. 

Namun pada saat dia tidak lagi menjabat semua kenyamanan ini sirna dan orang yang tadinya menghormatinya kini berpaling dan mencibirnya.

Gejala yang diperlihatkan oleh orang yang mengalami  Post Power Syndrome biasanya meliputi :

  1. Gejala fisik,seperti tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah, sakit-sakitan.
  2. Gejala emosi, seperti mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah.
  3. Gejala perilaku, seperti menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.

Kemungkinan lain yang dapat dijadikan argumentasi mengapa setelah menjabat terjadi perubahan prilaku ekstrim yang berseberangan adalah salah pilih.  Artinya  ketika seseorang diangkat sebagai pejabat evaluasinya tidak sampai menyentuh pada level "kesetiaan" dan  konsistensi memegang sumpah jabatan.

Perseteruan mantan pejabat dan pejabat yang sedang menjabat sering terjadi, dimana secara terbuka mantan penjabat "menyerang" secara terbuka kebijakan dan bahkan pribadi pejabat yang sedang menjabat.

Bagi orang awam melihat prilaku yang kurang elok ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa hal ini harus dilakukan ?, apalagi yang ingin dicari ?,  apakah kurang cukup yang diterima selama masih menjabat?

Banyak contoh yang sangat baik yang telah diperlihatkan oleh bapak bangsa kita,  sebut saja Pak Habibie yang sangat santun dan tidak pernah menyerang orang secara terbuka di depan umum.  Seharusnya mantan Presiden RI ini dijadikan panutan.

Ketika bangsa sedang bermasalah banyak pejabat yang meminta pendapat beliau dan ketika beliau sakit banyak pejabat dan orang awam yang merasa sedih dan turut mendoakan kesembuhan. Rasanya tidak pernah rahasia negara bocor dari beliau dan diungkapkan di depan umum.

Sebagai bapak bangsa Pak Habibie telah memperlihatkan  sisi kenegarawan nya,  sisi normatif  dan etika  yang halus dan penuh etika dan sopan santun.

Pak Habibie tau betul kapan harus berhenti dari kesibukannya  dan tidak lagi mencampuri urusan pemerintahan dan memberikan kesempatan pada generasi selanjjutnya untuk memerintah.

Tampaknya perbedaaan pandangan dan haluan politik telah membutakan sebagian dari kita dan tidak menyadari bahwa jabatan itu ada masa kadaluarsa nya dan tidak mungkin terus menerus menjadi pejabat.

Bahkan secara fisiologis kita semua disadarkan dengan adanya tanda tanda alam berupa ketuaan yang muncul seperti menurunnya stamina, memutihnya rambut dan makin rentan terhadap sakit.  Di saat itulah kita diminta untuk mengendorkan kegiatan kita dan menikmati masa purnabakti kita.

Bukankah sangat tidak elok  ketika tidak menjabat lagi sebagai pejabat kita menghamburkan emosi dan juga mulai menyampaikan hal hal yang tidak pantas untuk disampaikan ke publik?

Bukankah ada pilihan lain yang lebih elegan untuk bahu membahu membangun bangsa ini dengan cara membantu memecahkan permasalahan bangsa ini secara gotong royong dengan peran kita masing masing walaupun peran itu sangat kecil ?

Mari kita renungkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun