Tidak ada yang salah dengan Sepri dan Ari dua pemuda desa di Sumatera yang menginginkan perbaikan nasibnya dengan bekerja di kapal penangkap ikan asing Long Xing 629 milik perusahaan Tiongkok Dalian Ocean fishing Co Ltd.
 Juga tidak ada yang salah bagi kedua pemuda ini ketika mereka  tertarik dengan janji pencari pekerja yang merekrutnya menjadi awak kapal karena besarnya upah yang dijanjikan.
Siapa yang tidak tergiur dengan jaminan asuransi dan gaji sebesar US$400 per bulan yang tentunya menjadi daya tarik tersediri bagi 22 pemuda Indonesia untuk bergabung di kapal Long Xing 629 menangkap ikan di bulan Februari akhir tahun lalu
Pemilik kapal penangkap ikan ini terkenal dengan reputasi eksplotasi awak kapalnya dengan jam kerja di luar batas kemanusiaan. Â Sekitar 5 tahun lalu sekitar 4000 awak kapal penangkap ikan yang sebagian besar berkebangsaan Myanmar pernah diselamatkan di pulau terpencil Indonesia juga mengalami perlakukan yang hampir sama di kapal penangkapan ikan yaitu perbudakan sebagaimana yang terjadi di kapal penangkap ikan the Long Xing 629.
Hanya bertahan  sekitar 10 bulan saja akhirnya Sepri dan awak kapal lainnya dari Indonesia meninggal dunia di bulan Desember tahun lalu, disusul dengan sahabatnya  Ari yang juga meninggal dunia sekitar 3 bulan kemudian.
Kematian dan kerasnya lingkungan kerja mungkin saja merupakan bagian dari perjalanan hidup dua pemuda ini, namun perlakukan setelah kedua pemuda meninggal inilah yang benar benar menyentuh nilai kemanusiaan.
Menurut kisah awak kapal lainnya yang berhasil menyelamatkan diri dari horor di kapal Long Xing 629 ini menceritakan bahwa bagaimana awak kapal Indonesia meminta belas kasihan Kapten kapal agar jenasah pemuda Indonesia yang meninggal ini di simpan di tempat pendingin untuk selanjutnya dimakamkan secara manusiawi secara Islam apabila kapal ini sudah merapat ke darat.
Namun Kapten kapal berargumen bahwa jenasah ini jika dibawa ke darat  juga akan ditolak. Hal maksimal yang dapat dilakukan oleh rekan rekan senasib kedua pemuda ini adalah memandikan dan mensholatkan dan mendoakannya sebelum akhirnya jenasah kedua  rekan mereka ini yang mereka cintai dibuang  ke laut.
Horor yang terjadi di kapal ini tidak saja menyangkut jam kerja paksa yang mencapai 18 jam, namun juga perlakukan fisik seperti dipukul dan ditendang akibat tidak jalannya komunikasi karena  awak kapal tidak dapat berbahasa mandarin.Â