Pada lomba lari jarak menengah olimpiade 1964 yang diselenggarakan di Tokyo Jepang ada satu peristiwa yang tidak saja menghebohkan dunia, namun juga menjadi contoh dan spirit yang ditanamkan di jiwa pelajar Jepang sampai saat ini.
Tidak tanggung tanggung peritiwa yang dikenal sebagai "Karunananda 67" itu diabadikan di buku bacaan wajib pelajar di seluruh Jepang. Sangat jarang sekali contoh ketauladanan di buku teks siswa sekolah di Jepang menggunakan contoh orang asing.
Adanya materi khusus yang membahas Karunananda ini tentunya ada maksud dan tujuan tertentu agar para pelajar Jepang dapat memahami dan meneladani spirit Karunananda ini.
Namun ketika Billy Mills memasuki garis finish dan perlombaan dinyatakan sudah usai, Karunananda masih tetap berlari menyelesaikan sisa jarak yang belum ditempuhnya yaitu sekitar 2 putaran.
Awalnya para penonton mencemoohkan Kanunananda yang masih terus berlari, namun seiring dengan terus berlarinya Karunananda penonton berubah sikap dan memberikan dukungan yang luar biasa bagi Karunannada untuk menyelesaikan lari nya sampai mencapai garis finish. Stadiun bergerumuh dengan teriakan “Karu Ceylon, Karu Ceylon!”.
Karunananda memang tidak memenangkan medali apapun di lintasan 10.000 meter namun ketika dia akhirnya mencapai garis finish dia mendapatkan sambutan dan sorak sorai yang luar biasa dari penonton yang umumnya orang Jepang.
Dari data yang dikumpulkan ternyata Karunananda memulai larinya baik di jarak 5.000 meter sebelumnya dan di 10.000 meter mengalami sakit flu berat yang mempengaruhi kondisi tubuhnya untuk mencapai prestasi maksimum. Di lintasan 5.000 meter akibat flu yang dideritanya, Karunananda hanya berhasil menempati urutan 48 dari 52 pelari.
Ketika sedang berlangsung lomba lari 10.000 meter pelari lainnya tampaknya melihat Karunananda berlari sambil memegang bagian perut kanan nya. Saat itu ada pelari yang menyarankan Karunananda berhenti saja berlari (lihat photo berikut).
Bagi Karunananda menyelesaikan lari walaupun dalam keadaan yang kurang menguntungkan merupakan cerminan dari tekad dan spriitnya sekaligus tanggung jawab bagi penonton yang menyaksikan lomba, negara dan rakyat yang diwakilinya.
Hal ini tercermin ketika diwawancari oleh Haruo Suzuki Karunanda menyakatan :
"The Olympic spirit is not to win, but to take part. So I came here. I took part in the 10,000 metres and completed my rounds."
Semangat pantang menyerah inilah yang kemungkinan besar mengena di hari masyarakat Jepang sekaligus cocok dengan budaya dan kehidupan masyarakat Jepang sehingga cerita tentang kegigihan Karunannanda menyelesaikan larinya dijadikan contoh dan ditanamkan di hati para pelajar Jepang.
Para pelajar Jepang akan terus membahas dan mengingat Karunananda dengan kaos bernomor punggung 67 yang terus berlari menunaikan tekad kuatnya dihadapan ratusan ribu penonton walaupun dalam keadaan sakit.
Mencapai tujuan dan menjalankan tanggungjawab bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan namun diperlukan semangat, tekad, kerja keras dan perjuangan luar biasa.
Mungkin semangat inilah yang ingin ditanamkan di jiwa para pelajar Jepang dari cerita tentang Karunanda yang tercantum di buku teks wajib di sekolah di Jepang agar generasi muda tidak menjadi generasi serba instan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H