Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jebakan Teknologi dan Ekspor Produk Unggas

26 April 2018   07:22 Diperbarui: 26 April 2018   19:06 2787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mentan ketika melepas produk unggas ekspor. Photo:liputan6.com

Beberapa hari terakhir ini  media massa dan media elektronik dihiasi dengan penyataan yang Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa Indonesia sanggup memenuhi kebutuhan proteinnya alias swasembada.  Bahkan disinggung juga bahwa Indonesia sudah dapat mengekspor protein.

Menteri pertanian pada hari Jumat tanggal 20 April lalu ketika melepas ekspor pangan olahan ayam dan pakan ternak di salah satu  perusahaan swasta ayam ras  terbesar di Indonesia mengatakan :

 "Hari ini kita mengatakan, Indonesia telah swasembada protein dan bahkan ekspor,".

Sebagai komponen bangsa tentu saja kita harus selalu mengibarkan semangat swasembada dan berupaya kuat untuk mencapainya, karena memang hal ini menyangkut harga diri bangsa. Bangsa ini harus berdaulat termasuk di dalamnya berdaulat pangan.

Namun  terkait industri ayam ras pedaging dan petelur sebaiknya kita lebih berhati-hati memaknai ekspor ini.

Perangkap Teknologi

Ketika mediang  Bob Sadino memperkenalkan telur ayam ras di era 1970-an banyak sekali tantangan yang dihadapinya.

Salah dua tantangan terbesar Om Bob ketika itu adalah para konsumen yang belum terbiasa dengan telur ayam ras besar dan banyak berkembangnya isu negatif, termasuk di dalamnya anggapan bahwa mengonsumsi telur ayam ras berbahaya.

Namun, saat ini kita dapat menyaksikan betapa pesatnya perkembangan industri ayam ras pedaging dan ayam ras petelur yang menguasai sebagian besar pasokan telur dan daging ayam nasional.

Teknologi peternakan ayam ras modern bukanlah karya anak bangsa ini, melainkan teknologi impor yang harus benar-benar kita pahami positif dan negatifnya.

Positifnya, industri daging dan telur ayam ras yang berkembang pesat memang berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan  protein hewani yang  murah jika dibandingkan dengan protein hewani asal daging sapi.

Tetapi di lain pihak, negara-negara pemilik teknologi dan perusahan besar yang bergerak dalam peternakan ayam ras ini bukanlah seperti dermawan yang menyumbangkan teknologinya secara sukarela ke negara berkembang termasuk Indonesia.

Teknologi peternakan ayam ras ini diciptakan sedemikian rupa sehingga mencakup teknologi yang menyentuh faktor produksi utama dari hulu sampil hilir sebagai  suatu kesatuan rangkaian produksi. Faktor produksi yang paling krusial dalam teknologi peternakan ini adalah bibit, obat-obatan, dan pakan (catatan: biaya ketiga komponen ini  dapat mencapai lebih dari 70 persen dari biaya produksi total) yang apabila tidak dipenuhi salah satu unsur utama ini, maka ayam ras  akan gagal berproduksi secara maksimal.

Ketiga unsur inilah yang disebut dengan perangkap teknologi yang tidak semua orang menyadarinya. Dapat dikatakan hampir semua perusahaan besar yang bergerak dalam industri  peternakan ayam ras  ini menguasai ketiga unsur utama produksi ini.

Terkait dengan industri ayam ras ini paling tidak ada tiga  komoditas pertanian yang membuat Indonesia sampai saat ini sangat bergantung pada impor sebagai bahan utama pakan ayam ras petelur dan pedaging, yaitu kedelai, jagung, dan tepung ikan. Masalahnya bertambah rumit ketika jagung dan kedelai tidak saja menjadi kebutuhan konsumsi manusia, namun juga menjadi unsur vital dalam rangkaian peternakan ayam ras ini.

Bibit hibrida ayam ras  dalam bentuk Day Old Chick (DOC) dirancang sedemikian rupa materi genetiknya agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan sangat cepat.

Kita ambil contoh, untuk ayam pedaging sekarang hanya diperlukan 4-5 minggu saja agar dapat dipotong. Bandingkan dengan ayam kampung yang memerlukan waktu hampir satu tahun untuk mencapai bobot potong yang sama.

Dengan kebutuhan protein minimal 18-20 persen dan kalori sekitar 2800 kkal, maka tiga komponen utama, yaitu jagung sebagai sumber energi, kedelai dan tepung ikan sebagai sumber protein dan asam amino mutlak diperlukan dalam pakan ayam ras.

Sebagai contoh, jika tidak dipenuhi kebutuhan pakannya, DOC ayam pedaging dapat dipastikan akan gagal dalam mencapai bobot potongnya dan menjadi ayam kuntet.

Dalam meramu pakan ayam, jenis kedelai dan jagungnya pun tidak boleh hanya sekedar berkualitas biasa, namun harus berkualitas super agar dapat menghasilkan pakan ayam yang sesuai dengan standar kebutuhan DOC tadi.

Di sinilah letak perangkap teknologi peternakan ayam ras ini, di mana untuk menghasilkan daging dan telur, kita "dipaksa" untuk mengimpor jagung dan kedele yang berkualitas dan dijamin suplainya untuk kebutuhan pakan ayam ras.

Sebagai gambaran menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) tahun 2017 lalu  untuk kebutuhan industri pakan ternak saja Indonesia harus mengimpor 4,2  juta ton bungkil kedelai, di mana Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam hal besaran impor bungkil kedelai ini,

Penguasaan perusahaan-perusahaan besar dalam industri peternakan ayam ras di Indonesia dari hulu sampai hilir menjadikan perusahaan ini memiliki kekuatan yang luar biasa.

Penguasaan unsur produksi dari hulu ke hilir ini menyebabkan peternakan kecil dan menengah yang dilibatkan lebih berfungsi sebagai pelaksana dan pekerja saja. Bibit, pakan, obat-obatan, pinjaman modal, dan bahkan pemasaran produksinya sudah diatur dan dikendalikan kekuatan besar tadi.

Jadi pada setiap  produk ayam ras seperti daging, telur dan produk olahan lainnya ada unsur impor yang proporsinya sangat besar di dalamnya.  Disinilah letaknya jebakan teknologi yang seringkali tidak kita sadari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun