Saat ini Tiongkok boleh saja menjadi salah satu pusat kekuatan ekonomi dunia baru dan pusat kemajuan teknologi, namun tetap saja nilai tradisional masih  berakar.  Di tengah tengah arus modernisasi inilah seringkali terjadi  perbenturan antara tradisi dan gaya hidup modern.
Nilai tradisional Tiongkok mengharuskan wanita untuk segera mendapatkan jodoh dan  berumahtangga untuk selanjutnya mengurus suami dan orang tua.  Oleh sebab itu bagi wanita yang sampai dengan umur 27 tahun belum mendapatkan jodoh dan berkeluarga maka gelar perawan tua akan dilekatkan padanya.
Sementara kehidupan modern di kota kota besar menuntut wanita untuk berkarir dan bersaing meraih posisi yang lebih tinggi dalam pekerjaannya. Â Sehingga tidak heran jika setelah menyelesaikan pendidikan tingginya pada wanita Tiongkok generasi modern banyak yang memilih untuk tetap lajang dan terus meniti karir untuk meraih mimpinya.
Fenomena wanita lajang di kota kota besar kini semakin marak, walaupun tadinya  para wanita lajang ini  berasal dari wilayah pinggiran kota bahkan dari wilayah pedesaan.
Kehidupan modern di kota besar yang memberi kebebasan bagi wanita lajang untuk berkumpul dengan wanita lajang lainnya dalam menikmati gaya hidup modern seperti hiburan modern, bar dll marak di perkotaan. Kemandirian finansial membuat wanita lebih betah memajang untuk menikmati kemandiriannya.
Gaya hidup wanita lajang ini tentu saja sangat berbeda dengan kehhidupan generasi  ibu mereka yang merupakan  generasi  30 tahun sebelumnya yang masih kental menganut tradisi.
Bagi wanita lajang tersebut pilihan untuk hidup lajang tentu saja tidak menjadi masalah, namun bagi keluarganya dengan semakin bertambahnya usia dan belum menikah akan  bahan pembicaraan tetangga dan bahkan terkadang menjadi aib. Tekanan nari keluarga agar cepat menikah inilah yang seringkali menjadi beban tersendiri bagi wanita modern Tiongkok
Bagi keluarga  jika ada anak wanita yang masih lajang di usianya yang ke 27 akan muncul anggapan bawa anak wanitanya  tidak laku dan tiidak menarik sehingga tidak ada laki laki yang tertarik pada dirinya.
Perbenturan dua gaya hidup ini mencapai puncaknya ketika merayakan tahun baru Tiongkok dimana tradisi pulang kampung memang masih berakar  di masyarakat Tiongkok.  Pada acara inilah biasanya orangtua mengharapkan anak wanitanya membawa calon suaminya dan memperkenalkan pada keluarga.
Ditengah tengah perbenturan dua gaya hidup inilah muncul fenomena yang dikenal dengan "pacar sewaan". Fenomena ini ini memang  marak terjadi di wilayah perkotaan dimana banyak para laki laki menawarkan dirinya untuk "disewa " sementara menemani wanita lajang untuk pulang kampung dan sekedar bertemu dengan orangtuanya untuk menunjukkan bahwa wanita lajang tersebut sudah punya pacar.
Fenomena "pacar sewaan " ini  marak  terjadi di perkotaan dan dapat diakses  datanya oleh wanita jalang yang ingin menggunakan jasa "pura puranya" sebagai pacar sesaat.Â
Jasa "pacar sewaan ini" tergolong cukup mahal (sekitar 1,000 yuan (US$145) per harinya), sehingga wanita lajang harus menyisihkan sebagian dari tabungannya untuk menyewa "pacar sewaan" Â ini.Â
Fenomena "pacar sewaan " walaupun skenarionya cukup rapi terkadang juga menimbulkan kecurigaan pihak keluarga wanita karena  dari segi gerak gerik selama berkunjung ke rumah orang tuanya tampak kurang  wajar sebagai pasangan yang akan kawin.
Perbenturan  budaya tradisional dengan kehidupan modern memang biasa terjadi di tengah tengah derasnya arus modernisasi Tiongkok. Namun tampaknya ke depan budaya tradisional ini tampaknya akan semakin mengendur dengan semakin banyaknya wanita yang memilih untuk berkarir dan tidak lagi  menganggap berkeluarga menjadi satu satunya tujuan  hidup mereka.
Rujukan : satu, dua,tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H