Dunia pendidikan tinggi kembali dihebohkan dengan dugaan kasus produksi doktor karbitan yang terjadi di salah satu universitas negeri yang tekemuka. Â Kasus ini secara gamblang diungkap oleh investigasi.tempo.com yang kini kasusnya masih dalam penyelidikan dari pihak Kemristek Dikti.
Menurut laporan investigasi tersebut kampus ini dalam kurun waktu 2012-2016 perguruan tinggi ini telah meluluskan sebanyak 2100 doktor dan salah satu dosen di perguruan tinggi ini dalam periode tersebut berhasil membimbing sebanyak 327 mahasiswa doktor, yaitu jika dihitung persentasenya dosen ini telah membimbing dan melulusakan 31.05% dari total produksi doktor perguruan tinggi ini.
Hal ini berarti dosen yang bersangkutan dalam setiap tahunnya rata rata membimbing sebanyak 65 kandidat doktor. Menurut laporan tersebut bahkan pada tahun 2016 dosen tersebut meluluskan doktor sebanyak 118 orang.
Pembimbingan mahasiswa program doktor memerlukan pengalaman dan rekam jejak pembimbing yang yang sangat khusus, karena program ini memerlukan kualitas prima karena produk akhir dari proses pembimbingan ini adalah menghasilkan insan yang menguasai filosofi keilmuan.
Membentuk dan menghasilkan lulusan yang memiliki penguasaan  filosofi keilmuan tidaklah mudah karena sistem pembimbingannya jauh berbeda dengan pembimbingan strata 1 dan strata 2.
 Lulusan program doktor disamping dituntut memahami filosofi keilmuan, juga dituntut untuk bisa menjawab fenomena "mengapa" dalam bidang keilmuan dan juga keterbaruan keilmuan yang dinamakan "state of the arts"dari keilmuan yang didalaminya.
Hal ini berarti untuk meneliti topik yang memiliki keterbaruan dia harus menguasai state of the art keilmuan yang didalaminya dengan cara secara rutin dan terus menerus membaca dan mengikuti perkembangan keilmuan.
Sebagai konsekuansinya dalam mencapai kualitas lulusan program doktor yang berkualitas diperlukan acuan standar mutu mulai dari input mahasiswanya, proses pembelajaran, proses penelitian, proses penulisan hasil yang memerlukan proses berpikir dan berargumentasi yang berkualitas.  Kesemua proses yang harus dilalui oleh kandidat doktor inilah yang akan  menentukan kualitas keilmuan nya.
Proses pembimbingan mahasiswa program doktor yang normal dan benar paling tidak mengharuskan terjadinya pertemuan dan diskusi intensif dengan pembimbing sebanyak 10 kali mulai dari penyusunan ide penelitian sampai dengan ujian akhir. Sebelum penelitiaan kandidat doktor juga diharuskan mengikuti beberapa mata kuliah yang akan mendukung penelitiannya nanti.
Jika kita asumsikan bahwa sekali pertemuan memerlukan waktu 2-3 jam, maka paling tidak seorang kandidat doktor pernah bertemu dan berdiskusi dengan dosen pembimbingnya sebanyak minimal 20 jam selama proses pembimbingan. Â Jika ada lima pembimbing maka dapat dibayangkan berapa banyak waktu yang diperlukan mahasiswa untuk berdiskusi dengan seluruh pembimbingnya.
Jadi dapat dibayangkan betapa sibuknya jika seseorang pembimbing memiliki 118 mahasiswa bimbingan program doktor selama setahun. Jika hal ini benar benar terjadi maka sudah dapat dipastikan ada sesuatu yang salah di perguruan tinggi ini karena proses penjaminan mutu tidak berjalan dengan baik.
Bagi dosen yang pernah membimbing kandidat doktor dengan cara yang wajar maka membimbing kandidat doktor sebanyak 5 orang saja setahun memerlukan waktu, proses beripikir dan energi yang luar biasa. Â Hal ini terjadi karena tentunya dosen ini akan terbebani juga dengan bimbingan mahasiswa S1 dan S2, memberikan kuliah dan melakukan penelitian.
Membimbing dan menghasilkan lulusan doktor memerlukan kualitas tertentu dan bukan seperti pabrik mie instan yang dalam sekejap mata dapat menghasilkan mie instan yang terbungkus rapi dan cantik.
Lulusan program doktor suatu saat nanti akan bertugas dan dituntut  membimbing kandidat doktor juga yang berkualitas.  Jadi dapat dibayangkan jika seorang bergelar doktor dihasilkan dengan proses yang kualitasnya di bawah standar, apalagi dengan proses yang tidak benar maka sudah dapat dipastikan  lulusan ini akan mencetak lulusan doktor yang kelak dibimbingnya dengan kualitas di bawah standar juga.
Maraknya perdagangan gelar beberapa waktu lalu yang terjadi di Indonesia  dan kasus menghasilkan lulusan doktor yang tidak wajar seperti yang diuraikan di atas yang terus terjadi menunjukkan adanya permintaan yang cukup tinggi.
Gelar di Indonesia masih dipandang sebagai sesuatu yang mewah sekaligus merupakan status simbol yang dapat mengangkat derajat dan kewibawaan seseorang yang menyandang gelar tersebut.
Sayang nya perguruan tinggi sebagai punggawa terakhir untuk menjaga kulitas keilmuan, kejujuran dan wibawa akademis sering kali tergoda untuk mencari jalan pintas dengan mengorbankan kualitas akademis dan keilmuan.
Sudah menjadi rahasia umum memperoleh gelar doktor melalui jalan pintas masih banyak diminati dan dilakukan oleh orang penting dan berkedudukan. Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa dilihat dari segi kesibukannya orang tersebut tidak mungkin sekaligus menjalani rutinitas tugas hariannya dan menjadi mahasiswa program doktor.
Menempuh program doktor memerlukan konsentrasi penuh dan sangat jarang dapat dilakukan sebagai pekerjaan sampingan dan paruh waktu.  Oleh sebab itu,  program doktor yang wajar dan normal paling tidak ditempuh dalam kurun waktu minimal 3 tahun.  Jika dilakukan paruh waktu biasanya memerlukan  waktu studi berkisar antara 5-8 tahun.
Perjuangan dan pengorbanan yang sangat luar biasa selama menempuh program doktor ini biasanya akan membuat para lulusan doktor merasakan kelegaan dan kebanggaan yang luar biasa karena telah melalui perjuangan yang mungkin merupakan fase tersulit dalam hidupnya yang seringkali dihiasi dengan derai air mata.
Sudah sangat jelas bahwa bagi perguruan tinggi yang melakukan jalan pintas memperoduksi doktor dengan cara tidak wajar ini seharusnya dimaknai sebagai aib sekaligus pengkhianatan akan nilai nilai keilmuan yang seharusnya dijunjung tinggi, karena perguruan tinggi juga berfungsi sebagai benteng penegak kejujuran.
Sedangkan bagi mahasiswa program doktor yang mengikuti program dengan cara tidak wajar ini termasuk tidak mengikuti proses perkuliahan yang sesuai dengan standar, melakukan penelitian dengan benar, menulis disertasinya sendiri, keberhasilan meraih gelar doktor hanya merupakan kebanggaan semu.
Kebanggan lulus dengan cara tidak wajar ini tidak lebih hanya sebagai bentuk pemujaan  atas selembar kertas yang namanya terlulis didalamnya  sebagai lulusan doktor yang miskin makna.
Jika kita merupakan salah satu dari penerima ijasah dengan cara tidak wajar ini cobalah luangkan waktu untuk merenung dan menanyakan hati nurani kita . Tanyalah  pada diri kita keilmuan apa yang kita dapat? Pantaskan kita menyandang gelar akademis tertinggi ini? Apakah kebanggaan memiliki selembar kertas ini membuat diri kita tenang dan bahagia?
Lulus program doktor hanya merupakan tahap awal saja, sehingga dalam pidato kelulusan seusai ujian doktor biasanya lulusan "diingatkan kembali"  bahwa pengakuan sesungguhnya akan fisolofi keilmuan dari lulusan doktor adalah pengakuan yang datang dari masyarakat akan  filosofi keilmuan yang dibangun selama proses pendidikan doktornya dan karya keilmuan lanjutannya setelah menyelesaikan program doktor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H