Tidak ada yang menyangka bahwa industri kapal  yang menjadi kebanggaan Tiongkok yang mengalami masa keemasannya di awal tahun 2000an begitu cepatnya masuk ke masa tersuramnya
Perkembangan industri perkapalan Tiongkok ternyata telah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 2000 an ketika tercatat  sebagai  industri perkapalan terbesar dunia.
Terlalu pesatnya industri  perkapalan Tiongkok ini ternyata mendatangkan masalah sendiri, karena sebenarnya pemerintah memperkirakan bahwa puncak industri kapal ini seharusnya terjadi pada tahun 2015.
Tiongkok bukan satu satunya negara yang mengalami masalah dengan lesunya industri kapal ini. Dua negara lain yang tercatat sebagai 3 besar negara di dunia yang menguasai industri kapal dunia yaitu Korea Selatan dan Jepang juga mengalami masalah yang sama.
Industri kapal ketiga negara ini mulai mengalami kelesuan  akibat lesunya  peekonomian global yang menyebabkan  tajamnya  penurunan permintaan kapal dunia dan diperkirakan kelesuan ini terus berlanjut sampai dengan tahun 2019 mendatang.Â
Seiring dengan lesunya perekonomian global ini, permintaan terhadap kapal pengangkut kontainer dan kapal penumpang berbobot besar  juga menurun tajam. Disamping itu persaingan industri kapal dari pihak swasta juga semakin ketat.
Saat ini pemerintah kembali memperingatkan bahwa sepertiga dari galangan kapal harus ditutup. Akibatnya dapat dikatakan bahwa sebagian besar industri kapal swasta di Tiongkok hilang dari peta industri  perkapalan dan hanya yang sehat saja yang akan dapat bertahan dengan skema subsidi dari pemerintah.
Kondisi yang terus memburuk
Dalam menggambarkan betapa buruknya situasi kita dapat melihat drastisnya kasus penurunan harga sebuah kapal pengangkut masal yang tadinya berharga US$110 juta kini harganya hanya $45 juta atau mengalami penurunan harga sekitar 60%.
Dalam situasi seperti ini saat ini jumlah galangan kapal besar di Tiongkok menciut 59% jika dibandingkan dengan jumlah galangan kapal pada tahun 2013 dan ratusan galangan kapal kecil telah gulung tikar.
Sebagai contoh di salah satu galangan kapal yang bernama Yangzhou Guoyu di Yizheng tadinya ramai sekali dengan  pekerja yang mencapai  6000 orang kini sudah kosong dan tampak seperti kota mati.  Bangkai kapal yang belum selesai dikerjakan ditinggalkan begitu saja.
Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa galangan kapal yang tadinya mengalami booming dan dipenuhi oleh riuhnya pekerja, kini seolah menjadi kota hantu. Â Ribuan pekerja mengalami pemutusan kerja akibat lesunya permintaan kapal dunia ini.
Sebagai gambaran, dalam masa keemasannya, seorang pekerja ahli pembuat kapal menerima gaji sebesar US $1500 per bulan yang jumlahnya 3 kali lipat dari pekerja biasa.
Dalam kondisi seperti ini Tiongkok mengalami kelebihan pekerja yang memiliki keahlian membangun kapal. Â Akibatnya mereka harus berjuang keras memperoleh kembali pekerjaannya.
Kini banyak industri kapal hanya dapat bertahan hidup dengan mencapai  breaking  even  saja dengan membangun maksimal hanya 10 kapal saja per tahunnya, padahal beberapa tahun lalu perusahaan ini menerima pesanan 40 kapal per tahunnya.
Diperkirakan saat ini jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri kapal di Tiongkok mencapai lebih dari 500 ribu orang yang bekerja di ratusan galangan kapal.
Saat ini pemerintah Tiongkok sedang berusaha keras untuk menahan laju kehancuran industri kapalnya. Â Pada tahun 2013 saja melalui The Export-Import Bank of China menggelontorkan dana sebesar $25 milyar atau setara dengan sepertiga dari nilai total pemesanan kapal.
Namun pada tahun 2016 ternyata permintaan akan kapal ini terus mengalami penurunan. Akibatnya pemerintah pada bulan Oktober mendatang akan menutup kembali 30% dari galangan kapal yang ada.
Pelajaran yang berharga
Runtuhnya industri kapal Tiongkok ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang sedang membangun industri maritimnya.  Jika industri kapal dalam negeri Indonesia akan mengandalkan pesanan dari luar, maka harus dipersiapkan dengan baik untuk membangun galangan kapal  yang dapat bersaing ditingkat internasional saja yang dikembangkan.
Namun mengingat masih banyak permintaan kapal dalam negeri yang belum dapat dipenuhi sebaiknya sebagian besar industri kapal yang akan dikembangkan dirancang  untuk memenuhi keperluan dalam negeri Indonesia untuk mewujudkan sebagai negara maritim.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dengan baik adalah  ternyata industri kapal tidak dapat sepenuhnya didasarkan pada optimisme permintaan global saja yang sewaktu waktu dapat berubah sehingga tidak lagi sesuai dengan proyeksi pemintaan semula.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H