Ketika seorang pejabat negara dilantik sudah dapat dipastikan banyak orang berbondong bondong untuk mengucapkan selamat atas “sukses” yang telah diraihnya. Namun perlu diingat tidak semua promosi jabatan tersebut dilandaskan atas dasar “prestasi gemilang” yang dirintisnya, namun ada juga faktor “bejo” yang sering mewarnai karir seseorang.
Di dalam dunia psikologi ungkapan bahwa kekuasaan atau “power” itu bersifat “addictive” dan keeratannya dengan "money" hampir tidak dapat dipisahkan. Ketika seseorang mendapatkan kekuasaan yang belum pernah diraih sebelumnya biasanya cenderung untuk memfokuskan tindakannya untuk menyelaraskan langkah dan tindakannya dengan keinginan atasannya agar tidak kehilangan kekuasaan tersebut.
Secara bersamaan dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut seringkali tindakan yang dilakukan adalah membuat strategi sedemikian rupa agar bawahannya mendukungnya untuk memperkuat kekuasaan yang sedang dimilikinya.
Salah satu gejala yang paling menonjol dari “Sudden Power Syndrome (SPS)” ini adalah rasa ketakutan yang luar biasa akan kehilangan kekuasaan yang baru dimilikinya. SPS ini juga sering dikaitkan dengan “Sudden Wealth Syndrome” yang gejalanya meliputi dijauhi teman dekat, merasa bersalah akan keberuntungan yang dimilikinya dan ketakutan yang luar biasa akan kehilangan kekayaan yang dimilikinya.
Ketika seorang pejabat baru dilantik, seringkali dengan nada halus dan santun keluar ucapan manis dari mulutnya seperti “jabatan itu adalah amanah”. Tapi melihat berbagai kenyataan di lapangan setelah menjalankan dan “menikmati” kekuasaannya sangatlah berbeda sekali dengan apa yang pernah diucapkannya.
Untuk menggambarkan syndrome yang digambarkan di atas, marilah kita menganalisa tiga kasus berikut:
Kasus pertama: ketika salah seorang menteri mengunjungi salah satu universitas ternama di Bogor, sesampainya di kampus dan turun dari mobil beliau langsung menyapa para penyambutnya dan dalam pembicaraannya awalnya mengatakan “wah Bogor tidak semacet yang saya kira ya”
Kasus kedua : Kasus seorang pejabat negara yang “meminta” fasilitas tambahan bagi keluarganya yang bepergian ke luar negeri yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan “kekuasaan” yang dimilikinya.
Kasus Ketiga : Ketika seorang pejabat negara sibuk mati matian melakukan pembelaan ketika ada yang mengungkapkan bahwa pejabat negara tersebut menggunakan fasilitas mobil dinasnya untuk keperluan berlebaran.
Pada kasus pertama jelas sekali kondisi ini menggambarkan betapa nikmatnya fasilitas kekuasaan yang didapat dari jabatannya dan menjadikannya sebagai bagian dari rutinitas kesehariannya.
Pejabat tersebut lupa bahwa lancarnya perjalanan dan juga tidak macetnya jalan di Bogor itu merupakan upaya bawahannya untuk memfasilitasi pejabat tersebut. Beliau lupa bahwa sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bogor entah berapa puluh bahkan ratusan orang rakyat biasa yang menggerutu akibat disuruh minggir oleh Pasukan Pengawal (Patwal) sang menteri agar membuat perjalanan sang pejabat menjadi sangat lancar.