Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Pejabat dan Rasa Takut Hilang Kekuasaan

14 Juli 2016   05:58 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:24 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pinterest.com

Ketika seorang pejabat negara dilantik sudah dapat dipastikan banyak orang berbondong bondong untuk mengucapkan selamat atas “sukses”  yang telah diraihnya.  Namun perlu diingat tidak semua promosi jabatan tersebut dilandaskan atas dasar “prestasi gemilang”  yang dirintisnya, namun ada juga faktor “bejo”  yang sering mewarnai karir seseorang.

Di dalam dunia psikologi ungkapan bahwa kekuasaan atau “power”  itu bersifat “addictive” dan keeratannya  dengan "money" hampir tidak dapat dipisahkan. Ketika seseorang mendapatkan kekuasaan yang belum pernah diraih sebelumnya biasanya cenderung untuk memfokuskan tindakannya untuk menyelaraskan langkah dan tindakannya dengan keinginan atasannya agar tidak kehilangan kekuasaan tersebut.  

Secara bersamaan dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut seringkali tindakan yang dilakukan adalah membuat strategi sedemikian rupa agar bawahannya mendukungnya untuk memperkuat kekuasaan yang sedang dimilikinya.

Salah satu gejala yang paling menonjol dari “Sudden Power Syndrome (SPS)” ini adalah rasa ketakutan yang luar biasa akan kehilangan kekuasaan yang baru dimilikinya. SPS ini juga sering dikaitkan dengan “Sudden Wealth Syndrome”  yang gejalanya meliputi dijauhi teman dekat, merasa bersalah akan keberuntungan yang dimilikinya dan ketakutan yang luar biasa akan kehilangan kekayaan yang dimilikinya.

Ketika seorang pejabat baru dilantik, seringkali dengan nada halus dan santun keluar ucapan manis dari mulutnya seperti “jabatan itu adalah amanah”. Tapi melihat berbagai kenyataan di lapangan setelah menjalankan  dan “menikmati”  kekuasaannya sangatlah berbeda sekali dengan apa yang pernah diucapkannya.

Untuk menggambarkan syndrome yang digambarkan  di atas, marilah kita menganalisa tiga kasus berikut:

Kasus pertama: ketika salah seorang menteri mengunjungi salah satu universitas ternama di Bogor, sesampainya di kampus dan turun dari mobil beliau langsung menyapa para penyambutnya dan dalam pembicaraannya awalnya mengatakan “wah Bogor tidak semacet yang saya kira ya”

Kasus kedua : Kasus seorang pejabat negara yang “meminta”  fasilitas tambahan bagi keluarganya yang bepergian ke luar negeri yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan “kekuasaan”  yang dimilikinya.

Kasus Ketiga : Ketika seorang pejabat negara sibuk mati matian melakukan pembelaan ketika ada yang mengungkapkan bahwa pejabat negara tersebut menggunakan fasilitas mobil dinasnya untuk keperluan berlebaran.

Pada kasus pertama jelas sekali kondisi ini menggambarkan betapa nikmatnya fasilitas kekuasaan yang didapat dari jabatannya dan menjadikannya sebagai bagian dari rutinitas kesehariannya.  

Pejabat tersebut lupa bahwa lancarnya perjalanan dan juga tidak macetnya jalan di Bogor itu merupakan upaya bawahannya untuk memfasilitasi pejabat tersebut.  Beliau lupa bahwa sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bogor entah berapa puluh bahkan ratusan orang rakyat biasa yang menggerutu akibat disuruh minggir oleh Pasukan Pengawal (Patwal) sang menteri agar membuat perjalanan sang pejabat menjadi sangat lancar.

Pada kasus kedua kejadian ini menggambarkan betapa kekuasaan itu sangat “addictive”, sehingga kekuasaaan dan fasilitas yang dimilikinya secara sadar atau tidak, diperluas pada keluarga dan orang dekatnya.

Pada kasus ketiga adalah contoh bagaimana “power” yang digunakan untuk menerapkan suatu peraturan dan kebijakan yang hanya diberlakukan untuk bawahannya saja dan tidak berlaku pada dirinya karena pejabat tersebut adalah "pemegang kekuasaan".

Pejabat yang mendapatkan promosi besar besaran berupa jabatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya sebenarnya ada dalam kondisi yang sangat rentan. Pada posisi barunya tersebut semuanya tampak positif dan benar karena tentu saja bawahannya tidak ada yang berani mengingatkannya jika sekalipun tindakan yang dilakukannya tersebut salah.

Agar “Sudden Power Syndrome”  tidak berubah menjadi “abuse of power” pejabat yang besangkutan memerlukan pakar yang dapat memberikan masukan apa adanya bukan masukan yang “Asal Bapak Senang” yang justru memperparah syndrome SPS  ini. Disamping itu diperlukan juga dukungan emosi dan simpati terhadap “stress” dan “trauma” yang dialami oleh pejabat yang bersangkutan yang seringkali tidak disadarinya.

Perlu disadari sejak awal seseorang yang menerima jabatan itu adalah kondisi "kerentanan kejiwaan" yang dapat mengarah pada "kelainan kejiwaan" yang seringkali tidak disadari oleh orang yang bersangkutan.  

Jika hal ini tidak dipahami dan disadari sejak awal, maka sudah dapat dipastikan “syndrome”  ini akan berkembang menjadi kelainan, bertambah parah dan dapat berujung pada gejala kelainan kejiwaan yang kita kenal dengan “post power syndrome (PPS)”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun