Baru baru ini  Gilda Sedgh dkk mempublikasikan potret tingkat aborsi dunia yang dikemas dalam tulisan ilmiah yang berjudul  Abortion incidence between 1990 and 2014: global, regional, and subregional levels and trends di jurnal The Lancet.
Tidak tanggung-tanggung dalam menulis laporan ini mereka menggunakan data dari berbagai sumber yang meliputi 1069 negara dengan pokok bahasan perbandingan tingkat aborsi pada kelompok negera yang melegalkan aborsi dan kelompok negara yang melarang aborsi.
Pada kelompok negara dimana praktek aborsi dilarang dan dinyatakan sebagai tindakan kriminal bagi pelakunya, rataan  tingkat aborsi mencapai 37 aborsi untuk setiap 1000 wanita setiap tahunnya dan angka ini hampir sama dalam kurun waktu 1990-2014.Â
Kisaran usia wanita yang melakukan aborsi pada kelompok negara ini adalah 15-44 tahun. Angka aborsi meningkat dari 50,4 juta pada tahun 1990-1994 menjadi 56,3 juta pada tahun 2010-2014. Peningkatan angka aborsi ini sejalan dengan peningkatan populasi.
Sebagai perbandingan pada kelompok negara yang melegalkan praktek aborsi, seperti di negara Eropa dan Amerika Utara, dimana aborsi merupakan bagian dari program kesehatan, jumlah aborsi menurun tajam dari 35 aborsi per 1000 wanita pertahunnya pada tahun 1990 menjadi hanya 25 aborsi per 1000 wanita per tahunnya.
Implikasi hasil penelitian
Presepsi bahwa melegalkan aborsi akan meningkatkan praktek aborsi ruapanya terbantahkan dari hasil penelitian ini.
Disamping itu undang-undang yang melarang aborsi dan mencantumkan aborsi sebagai tindakan kriminal ternyata tidak menurunkan angka kejadian aborsi di sebagian besar negara berkembang. Â Sebaliknya aturan pelarangan aborsi justru mendorong wanita untuk melakukan aborsi secara illegal dan menyuburkan tempat praktek aborsi illegal.
Praktek aborsi illegal di negara negara berkembang memang perlu mendapat perhatian khusus mengingat angka aborsi masih tinggi. Data empiris memang menunjukkan bahwa pelarangan aborsi tidak menurunkan angka aborsi. Â Oleh sebab itu, Â aborsi secara ketat dan selektif bagi keluarga yang kehamilannya akan membahayakan jiwa ibu dan anak dan juga penyediaan alat kontrasepsi bagi keluarga yang sudah kawin di negara-negara berkembang mungkin merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan yang sangat komplek ini.
Kesulitan lain yang umumnya dihadapi oleh negara negara berkembang terkait dengan norma, budaya, adat istiadat  dan agama yang berlaku, sehingga melegalkan aborsi merupakan kebijakan yang tidak mungkin dilakukan di negara tersebut.
 Rujukan :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H