Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stigmatisasi Penderita Gangguan Mental

30 Maret 2016   08:09 Diperbarui: 30 Maret 2016   08:55 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Stigmatisasi terhadap penderita gangguan mental seringkali timbul akibat kurangnya pengetahuan. | Photo: www.bbc.com"][/caption]Gangguan jiwa merupakan realitas dalam dunia modern saat ini yang tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat miskin saja namun juga terjadi juga di kalangan menengah dan atas.

Gangguan jiwa yang pada umumnya mempengarui kualitas hidup penderita adalah : depresi, gangguan tingkah laku makan, maniak, gangguan personalitas, gangguan tidur, stress dan kegelisahan, kecenderungan bunuh diri dan melukai diri sendiri, psychosis, schizophrenia serta mendengar suara suara aneh.

Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa angka bunuh diri bervariasi dari satu negara ke negara lainnya yang memiliki tingkat pendapatan yang berbeda. Sebagai contoh tingkat bunuh diri di Vietnam mencapai 5 kasus per 100.000 orang, sedangkan di Inggris  angkanya mendekati yaitu 6 kasus per 100.000 orang.  Data ini menunjukkan bahwa masalah gangguan mental bukan hanya didominasi oleh negara berkembang saja namun juga terjadi di negara maju.

Pada umumnya penderia ganguan mental di negara berkembang jarang mendapatkan perlakukan dan perawatan  yang mamadai dan banyak diantara penderita gangguan mental ini diperlakukan dengan cara tidak manusiawi dan pengobatannya dilakukan dengan cara yang berbahaya, seperti misalnya diisolasi, dikurung, dipasung dll

Di banyak negara, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, penderita gangguan mental seringkali rentan terhadap stigma sosial, diskriminasi dan isolasi sosial yang pada akhirnya membatasi  kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini tentu saja akan berdampak  langsung pada penderita dan juga produktivitas negara karena akan memunculkan biaya  sosial dan ekonomi yang tinggi.

Di banyak negara berkembang dimana banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan informal, diskiriminasi yang dialami oleh penderita gangguan mental ini akan berdampak besar pada kehidupannya.

Mengingat biaya pengobatan bagi para penderita gangguan mental ini cukup mahal dan memerlukan waktu yang panjang, seringkali penderita gangguan jiwa dari kalangan miskin terabaikan dan lebih mendorong penderita dan keluarga ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam.

Penyebab timbulnya stigma

Hal yang paling utama yang menjadi penyebab timbulnya stigma ini adalah kurangnya pengetahuan terkait gangguan mental di kalangan masyarakat dan juga kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat yang berpendapat bahwa gangguan mental ini dikaitkan dengan dosa dan juga kekuatan supernatural seperti misalnya santet dll.

Penyebab lainnya adalah attitude negatif dan juga prasangka buruk di kalangan masyarakat terhadap penderita gangguan mental yang akan berujung pada diskriminasi.  Disamping itu seringkali penderita gangguan mental itu sendiri yang menimbulkan stigma negatif  itu sendiri dengan cara menginisiasi attitude negatif

Hasil studi menunjukkan bahwa sigma negatif  terhadap penderita gangguan jiwa ini bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya dan juga sangat tergantung pada budaya setempat.  Di Afrika misalnya gangguan mental ini dikategorikan oleh WHO sebagai silent epidemic.  Para penderia gangguan mental ini pada umumnya disembunyikan dan diisolasi dari masyarakat.

Sigmatisasi gangguan gangguan kejiwaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang pada umumnya sangat erat kaitannya dengan budaya.  Terdapat juga kepercayaan bahwa gangguan mental ini terkait dengan faktor keturunan yang mempengaruhi  kalangan masyarakat  tertentu dalam memutuskan untuk kawin dan memiliki anak.

[caption caption="Banyak penderita gangguan jiwa di dunia tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang memadai. | Sumber: WHO"]

[/caption]Terkait dengan  sigma gangguan mental ini WHO gencar mengkampanyekan dan juga memberikan  bantuan bagi para penderita gangguan mental di berbagai negara.  Dalam salah satu programnya yang dinamakan WHO’s QualityRights project yang mempromosikan hak asasi manusia dan juga kualitas pelayanan yang lebih baik  telah menarik minat produser film ternama Gary Foster dan juga pengarang Gregory David Roberts.  Diharapkan pogram ini akan memberikan dampak perbaikan kualitas hidup bagi jutaan penderita  mental di negara berkembang termasuk di Indonesia.

[caption caption="Pria penderita gangguan mental di Cianjur ini  selama 15 tahun dirantai dan ditempatkan di belakang rumah  keluarga. | Photo: Human Right Watch, CNN"]

[/caption]

Bagaimana dengan di Indonesia?

Menurut catatan WHO saat ini di Indonesia terdapat 48 rumah sakit jiwa dan lebih dari setengahnya berada di empat provinsi.  Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang diperkirakan jumlah psychiatrist yang dimiliki Indonesia hanya 800 orang saja.  Hal ini berarti hanya tersedia 1 orang psychiatrist untuk setiap 300.000 penduduk.

Berdasarkan laporan dari Human Rights Watch yang baru dikeluarkan hari senin lalu, terdapat sekitar 57.000 orang penderita gangguan jiwa paling tidak pernah sekali dalam kehidupannya mengalami isolasi. Walaupun praktek pemasungan sudah dilarang sejak tahun 1977, namun dalam prakteknya menurut Human Rights Watch masih terdapat sekitar 18.800 orang yang dipasung saat ini.

Jumlah penderita gangguan jiwa yang mengalami isolasi maupun pemasungan di Indonesia yang dikemukan oleh Human Rights Watch ini  memang belum tentu akurat, namun paling tidak laporan ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa di Indonesia.

Di masa mendatang pemerintah diharapkan dapat mempertajam program pelayanan kesehatan dan sosial yang menyangkut penderita gangguan mental ini agar tidak menjadi kelompok masyarakat yang termajinalkan

Rujukan :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun