Bagdad dihujani bom oleh Amerika dan Inggris pada tanggal 21 Maret 2003. Photo: http://www.aljazeera.com
Sekitar 10 jam lalu, mantan perdana menteri Inggris Tony Blair membuat pengakuan yang mengejutkan dunia dengan mengatakan bahwa terjadi kesalahan intelejen sehingga memicu terjadinya serangan besar-besaran yang dimotori oleh Amerika yang pada saat itu dipimpin oleh George W. Bush terhadap Irak yang pada saat itu dipimpin oleh Saddam Husein. Tony Blair mengakui bahwa ini semua adalah suatu kesalahan yang dia lakukan.
Mantan Perdana Menteri Inggris ini meminta maaf atas keputusan yang diambilnya melibatkan Inggris dalam perang dan menggulingkan Saddam Husein, namun dia tetap menolak untuk meminta maaf atas tindakannnya tersebut yang mengakibatkan Saddam Husein terguling dari kekuasaannya.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 2003 yang dikenal sebagai invasi Irak ini dimulai atas dasar laporan intelejen yang saat itu digembar-gemborkan oleh George W. Bush dan Tony Blair bahwa rezim Saddam Husein memiliki sejanta pemusnah massal dan juga senjata kimia. Saat itu awal penyerangan terhadap Irak tidak melewati persetujuan Dewan Keamanan PBB. Namun apa yang terjadi setelah pasukan sekutu yang dimotori oleh Amerika dan Inggris ternyata senjata pemusnah massal dan juga senjata kimia itu tidak ada.
Sejak awal motif Amerika dan Inggris menyerang Irak dasar keberadaan senjata kimia dan senjata pemusnah massal memang diragukan oleh dunia. Dunia lebih mempercayai bahwa motif sebenarnya dari penyerangan ini adalah pengaruh kekuatan Rezim Saddam Husein di wilayah itu yang makin mengkhawatirkan dan keamanan pasokan minyak, setelah sebelumnya Irak mengivasi Kuwait tahun 1991 yang menyebabkan perak teluk yang dikenal sebagai operasi "Desert Storm".
Pengakuan Tony Blair di CNN dalam wawancara khususnya dengan Fareed Zakaria dinilai akan berdampak akan luas, sebab sampai saat ini George W. Bush dan juga Amerika masih menjustifikasi bahwa tindakan penyerangan terhadap Irak di bawah kepemimpinan Saddam Husein benar adanya karena membahayakan dunia dengan senjata pemusnah massal dan senjata kimianya.
Invasi Irak yang memakan korban ribuan orang dari pihak Irak, 4000 dari pihak Amerika dan 179 dari tentara Inggris memang sudah usai namun dampak perang itu terhadap perubahan peta kekuatan dunia khususnya di Timur Tengah sangat besar.
Ketika pasukan sekutu berhasil menggulingkan Saddam Husein dan menguasai Irak pada tahun 2003 dan deklarasi bahwa kekuatan Al Qaeda sudah dilumpuhkan pada tahun 2008 ternyata kejadian tersebut bukan merupakan awal terjadinya kestabilan politik di Timur Tengah, namun justru sebaliknya.
Pada saat penggulingan Saddam Husien memang ISIS belum terdengar keberadaannya, namun pada kenyataanya ISIS sudah ada dan kemungkinan “dipelihara” keberadaan saat itu untuk melawan rezim Saddam Husein. Saat perang teluk cikal bakal ISIS ini pindah ke Syria dan membesarkan diri untuk selanjutnya kembali ke Irak dan berkembang secara tidak terkendali.
Tidak hanya itu saja penggulingan Saddam Husein dinilai sebagai pemicu gelombang perubahan di Timur Tengah yang dikenal sebagai “Arab Spring”. Gelombang Arab Spring melanda negara-negara di Timur Tengah satu persatu seperti wabah. Sebut jasa runtuhnya kekuasaan Kadhafi, pergolakan di Mesir yang menumbangkan Husni Mobarak, perang saudara di Syria dll.
Anehnya ada beberapa negara di kawasan ini yang sengaja “dikontrol”, “dibiarkan” dan bahkan “dilindungi”, sebut saja Iran dan Saudi Arabia. Iran walaupun mendapat tekanan hebat karena kemampuannya membuat senjata nuklir masih eksis. Sementara itu Saudi Arabia yang oleh Amnesti Internasional dikategorikan sebagai negara bermasalah dalam hal pelanggaran HAM sengaja dilindungi. Negara-negara di Timur Tengah yang dianggap “jinak” dan memberi keuntungan pada negara barat dibiarkan dan aman dari gelombang “Arab Spring”.
Pengakuan dan permintaan maaf Tony Blair terkait kesalahan data intelejen ini memang sangat mengherankan dan tidak masuk akal, sebab Amerika dan Inggris tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki kemampuan intelejen terkuat di Dunia.
Spekulasi akhirnya merebak bahwa ada kekuatan yang berkepentingan di balik dipublikasikan informasi intelejen yang salah tersebut. Kekuatan ini tentunya sudah memperhitungkan efek dominan yang akan terjadi jika penggulingan Saddam Husein dimulai. Mereka pasti sudah memperhitungkan eksistensi ISIS yang saat itu masih bayi dan dampaknya di kemudian hari. Mereka sudah pasti tau bahwa Arab Spring bukanlah sesuatu gelombang perubuhan yang terjadi dengan sendirinya melainkan gelombang yang didesign oleh kekuatan ini.
Kekuatan itu memang telah berhasil mengaduk-aduk peta politik dan kekuatan di Timur Tengah dengan harapan terjadi keseimbangan baru yang tentunya menguntungkan pihak yang berada dibalik ini semua. Akankah kasus Al Qaeda yang dulunya diperlihara dan dibesarkan untuk melawan kekuatan Uni Soviet yang saat itu sudah lama menguasai peta politik di beberapa negara di Timur tengah khususnya Afghanistan. Osama bin Laden yang pada awalnya “dibesarkan” oleh Amerika akhirnya berbalik menghantam Amerika.
Pengakuan Toni Blair diharapkan menjadi titik terang untuk mengungkap siapa dalang di balik kekacauan di Timur Tengah ini. Pengakuan dan permintaan maaf Tony Blair memang meringankan beban dan pikiran yang menghantuinya setelah dia tidak berkuasa lagi. Namun rakyat Inggris sudah lama tau bahwa terjadi kesalahan besar ketika Inggris melibatkan diri dalam melakukan invasi Irak 13 tahun yang lalu sekaligus menyalahkan Toni Blair atas banyaknya korban yang jatuh dari pihak Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H