Paternak sapi Australia terpukul dengan pengurangan quota impor sapi oleh Indonesia. Photo: resources0.news.com.au
Para peternak sapi di wilayah Northern Territory Australia saat ini sedang gundah dan berusaha keras memutar otak. Kondisi ini terkait dengan pengumuman Indonesia yang menetapkan quota import sapi hidup dari Australia hanya sebanyak 50.000 ekor saja dari rencana quota 200.000 ekor sapi di 2/3 periode impornya. Pengurangan quota yang cukup drastis ini memang tidak diduga dan tentunya tidak diharapkan oleh para peternak di wilayah tersebut yang penjualan sapinya tergantung pada Indonesia. Sebagai perbandingan pada periode yang sama pada tahun 2014 Indonesia mengimpor sebanyak 250.000 ribu ekor sapi dari Australia. Dengan rata-rata harga sapi hidup Rp. 7,5 -10 juta per ekor, maka dapat dibayangkan berapa besaran ekspor sapi Australia ke Indonesia yang dalam setahunnya rata-rata mencapai 800.000 ekor ini.
Dari catatan sejarah ekspor sapi Australia ke Indonesia pernah dihentikan pada tahun 2011 setelah beredarnya video kekerasan terhadap sapi yang terjadi di Indonesia yang membuat heboh Australia. Namun justru pada saat itu setelah permasalahan dianggap reda, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk menghentikan impor dari Australia yang berdampak sangat luas pada peternakan sapi di Australia. Pada saat itu banyak peternak yang mengalami kesulitan dan mengalami kerugian besar karena tidak dapat menjual sapinya.
Ada hal yang menarik dari pengurangan quota yang sama sekali tidak diduga oleh para peternak dan juga pemerintah Australia. Maklum saja saat-saat menjelang lebaran tentunya kebutuhan akan daging sapi akan meningkat tajam dan biasanya harga daging sapi akan melambung, sehingga diperkirakan hampir tidak mungkin Indonesia mengurangi import sapinya dengan drastis seperti ini. Namun ternyata Indonesia melakukan pengurangan import sapi hidup dari Australia.
Dari sisi Indonesia pengurangan quota ini dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah saat ini untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada impor. Selain daging sapi hal ini juga sudah dimulai pada produk yang benilai politis tinggi yang menyangkut hajat orang banyak, seperti beras dan garam serta produk import lainnya yang akan segera menyusul.
Dari sisi Australia pengurangan quota import sapi ini dapat dimagnai beragam karena menyangkut masa depan kelangsungan kehidupan para peternak sapi. Memang 150.000 ekor sapi yang tidak jadi di ekspor ke Indonesia tersebut dapat dialihkan ke negara lain, namun tentunya tidak mudah seperti membalikkan tangan.
Pasaran sapi untuk Indonesia sangat spesifik karena bobot badan sapi yang khusus di ekspor ke Indonesia maksimum berbobot 350 kg karena akan digemukkan lagi di Indonesia. Kalau di alihkan ke Vietnam misalnya, mereka minta sapi dengan ukuran yang lebih besar karena langsung dipotong. Padahal sapi-sapi tersebut sudah dalam kondisi dikumpulkan dari padang penggembalaan dan siap diekspor ke Indonesia. Walaupun ada indikasi bahwa permintaan dunia akan dagin dan sapi hidup cenderung meningkat, namun mencari pasar baru tidaklah mudah.
Dari segi politik pengurangan quota ini juga menjadi perdebatan yang hangat. Menteri luar negeri Julie Bishop dan menteri pertanian Barnaby Joyce telah menyatakan bahwa pengurangan quota ini tidak terkait dengan kondisi politik dua negara yang akhir akhir ini kurang baik.
Sementara partai Buruh yang saat ini sebagai partai oposisi mengaitkan hal ini dengan buruknya hubungan politik kedua negara setelah dua peristiwa besar yang mengganggu hubungan kedua negara yaitu sikap pemerintah Australia terhadap pelaksan hukuman mati Bali Duo dan kebijakan Australia untuk mengembalikan kapal pengungsi termasuk kasus pemberian uang kepada awak kapal untuk megarahkan kapang pengungsinya balik ke Indonesia.
Pimpinan oposisi dari partai buruh Bill Sorthen sangat mengkhawatirkan perkembangan yang tidak diharapkan ini dan menuding bahwa ketidak sepahaman antara menteri pertanian Barnaby Joyce dan Perdana Menteri Australia Tony Abbot atas kebijakan penambangan di wilayah pertanian produktif membuat perhatian pemerintah tidak fokus pada masa depan peternak di Australia.