Kemiskinan di Indonesia telah menjadi sebuah legenda...
Deskripsi kemiskinan di Indonesia memiliki sifat "berbanding-terbalik" dengan keberlimpahan sumber daya geografis negeri ini, berbagai rekam data observasi tentang kimiskinan hingga saat ini tidak memiliki determinisme yang spesifik mampu menekan angka-angka tersebut menjadi sama dengan nol (hilangnya kemiskinan di Indonesia). Kemiskinan di Indonesia telah menjadi sebuah legenda.
Legenda kemiskinan dimulai pada sebuah desain kebijakan yang memiskinkan, sebuah ketidak-optimalan program pemerataan kesejahteraan yang selalu tidak memenuhi target capaian, sehingga selalu saja menjadi tumpukan defisit. Kebijakan seakan tidak lagi menjadi pemecah-masalah dan solusi problematika manusia, melainkan menyebabkan turun dan naiknya angka-angka kemiskinan setiap tahunnya.
Kemiskinan di Indonesia menjadi begitu inskrementalis, menjadi warisan temurun dengan modifikasi yang dilakukan sepotong demi sepotong, hal tersebut pernah menjadi kritik Charles E. Lobdblom tentang desain sebuah kebijakan yang tidak pernah melakukan evaluasi tahunannya, ketidak-optimalan program pemerataan kesejahteraan, berdampak pada ditetapkannya berbagai program untuk meneruskan kebijakan-kebijakan terdahulu, yang berakhir pada konfik dan kompleksitas dalam usaha menghilangkan kemiskinan.
Konflik dan Kompleksitas tersebut perlu di-urai dengan baik, merujuk pada tingkat diferensiasi struktur sosial yang ada, dan kemiskinan menjadi mudah diselesaikan jika berfokus pada mahalnya biaya pendidikan yang berdampak pada akses masyarakat menuju Perguruan Tinggi, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dua hal tersebut adalah indikator-ukur sebagai solusi pengentasan kemiskinan, sehingga kebutuhan-kebutuhan minimum untuk  bertahan hidup pasti dapat terpenuhi dan rakyat menjadi sejahtera.
Sebuah Intervensi untuk Kemiskinan yang Melegenda
Kebijakan pengentasan kemiskinan menjadi rasional, dengan tercapainya capaian secara efisien melalui sebuah inovasi yang terintegrasi di dalam satu kebijakan yang rasional...
Menuju pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi dimulai dengan menekan "mahalnya" biaya pendidikan, yang berdampak pada akses masyarakat menuju Perguruan Tinggi, karena ketika "gagal" menciptakan akses tersebut akan melahirkan masalah krusial seperti pengangguran, kriminalitas, dan welfare dependency, menjadi beban sosial politik bagi pemerintah tentunya, ketika pendidikan didorong sebagai penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, akan ikut mendorong proses transformasi struktural organisasi berjangka panjang dan berkelanjutan.Â
Peningkatan angka kelulusan di level perguruan tinggi (PT) akan menciptakan "confident" di dalam menciptakan lapangan pekerjaan, lulusan PT akan memiliki peningkatan kapasitas dalam mengembangkan human capabillity, sebagai satu modal dasar dalam pembangunan dengan cara "menciptakan lapangan kerja" tanpa perlu menciptakan lapangan pekerjaan.
Ya, para lulusan perguruan tinggi memiliki pola dan strategi yang sangat mementingkan human capital (modal manusia) di dalam pembangunan ekonomi berbangsa, pemerataan akses menuju perguruan tinggi akan melengkapi "rantai-nilai" yang hilang dalam kaitannya dengan penuntasan kemiskinan, yaitu ketika investasi di bidang human capital berkorelasi pada inisiasi terhadap berbagai isu peningkatan keterampilan, infrastruktur yang diperlukan, natural capital, rasionalisasi kebijakan pendidikan, serta pengembangan ilmu pengetahuan melalui pendidikan.