(Dewan Pers, 2011).
Peraturan tersebut berlaku bagi seluruh jenis media baik media cetak, media penyiaran, dan juga media online. Namun, kurang terkontrolnya laju perkembangan media online membuat para pengguna internet kembali lagi pada poin di atas yakni menggunakan internet dan media online sebagai sarana menebar kebencian. Sebagai contoh, pada waktu Pilpres 2014 kemarin, banyak situs internet berkedok media online dengan sangat gamblang memojokkan salah satu calon Presiden dengan berita bohong yang ditulisnya. Hal itu bertujuan untuk menghilangkan simpati rakyat pada calon tertentu dan serta merta membuatnya kalah dalam pemilihan. Semakin berkembang dari waktu ke waktu, praktek tersebut berkembang luas untuk memojokkan salah satu pihak.
Praktek itu pada akhirnya dirumuskan menjadi praktek hate speech yang menurut surat edaran Polri No. SE/6/X/2015 berarti sebuah ujaran kebencian dalam bentuk tindak pidana yang dapat ditemui dalam praktek penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet (Firdaus, 2015).
Contoh hate speech dalam kasus Pilpres 2014 tersebut menimpa Jokowi yang dikatakan oleh portal berita PKS Piyungan dengan alamat portalpiyungan.com. Portal tersebut mengunggah sebuah foto obituari kematian Jokowi lengkap dengan nama istri dan anak-anaknya. Selain itu, fitnah nomor dua yang ditunjukkan dalam foto itu adalah adanya nama Tionghoa Jokowi yang disematkan dalam foto itu dengan nama Oey Hong Liong. Padahal, Jokowi sama sekali bukan berasal dari ras Tionghoa. Berita bohong seperti itu dianggap hate speech karena merendahkan derajat orang lain dan memojokkan orang tersebut (Assegaf, 2014).
Lain PKS Piyungan, lain pula dengan portal VOA Islam. Mengusung jargon berbunyi voice of truth, portal ini memberitakan pemberitaan tentang kaum LGBT tidak dengan bahas jurnalistik dan terkesan sebagai kalimat opini dengan kata-kata tak terpuji. Dalam pemberitaan berjudul Tokoh Gay Dede Oetomo Ingin Legalkan Kawin Sejenis, terdapat sebuah kutipan dengan kata-kata “…Bahkan, gilanya lagi ia pernah bercita-cita untuk mendirikan partai politik, khusus kaum gay, lesbi, banci dan manusia sampah lainnya,” (voa-islam.com, 2012). Kata-kata “manusia sampah” itu tentu tak layak dan tak akan masuk proses editing media konvensional seperti cetak dan penyiaran, namun hal ini dapat begitu saja diakses masyarakat di internet karena sulitnya menerapkan filter dan mengontrol praktek hate speech seperti itu.
Ditilik dari modusnya, hate speech tidak hanya disebar oleh portal berita yang tidak independen tetapi juga melalui akun-akun sosial media. Di ranah sosial media, para pelakunya rata-rata tidak menunjukkan identitasnya dan hanya muncul sebagai anonim saja. Dari situ, muncul juga sebuah dugaan bahwa akun-akun anonim sosial media tersebut merupakan akun “ternakan” atau akun yang didalangi hanya oleh satu orang dari portal berita itu yang ditujukkan untuk semakin menyebarluaskan hate speech tidak hanya di taraf website tetapi juga masuk ke ranah sosial media yang diakses lebih sering oleh netizen.
Dikutip dari Mirabito pada 2004, paling tidak ada 12 ribu pengguna internet yang menjadi korban dari praktek hate speech yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender. Nyatanya, perkembangan internet ternyata berbanding lurus dengan peningkatan terror di dunia maya. Cepatnya informasi yang dibawa teknologi berjalan dan berkembang, ternyata belum mampu dibarengi oleh kemampuan masyarakat yang menyaring informasi yang diterima. Mereka malah cenderung langsung mengartikan secara mentah-mentah dari paham kebebasan berpendapat yang menandakan bahwa setiap orang bebas berbicara tentang apapun mengenai siapapun. Kemudahan yang ditawarkan justru belum mampu ditanggapi secara dewasa oleh masyarakat dengan tidak menghargai perbedaan dan kepentingan orang lain.
Pemerintah sudah mengambil langkah tepat dengan mengeluarkan surat edaran (SE) yang akan menindak tegas para penyebar hate speech, namun itu tentu tidak bisa serta merta menghentikan praktek jahat tersebut. Diperlukan kesadaran dari masyarakat sebagai obyek tujuan praktek tersebut untuk membuka wawasan dan menambah edukasi mereka mengenai alur informasi dan berita yang berkembang di sekitar mereka.
Masyarakat haruslah paham berita mana yang dipercaya dan berita mana yang merupakan isapan jempol semata. Selain itu, berita hate speech yang salah satunya memiliki tujuan adu domba, tidak akan berhasil jika masyarakat tidak mudah tersulut emosinya dan percaya pada satu sumber saja. Jika media online belum mampu mengedepankan paham verifikasi bahan berita, paling tidak masyarakat seharusnya paham untuk melakukan check and recheck pada berita yang mereka baca.
Salah satu caranya adalah dengan mencari sumber sebanyak-banyaknya mengenai suatu berita agar masyarakat dapat mengerti duduk persoalan dari berbagai pihak dan tidak memutuskan sesuatu persoalan dari satu sudut pandang saja. Alangkah lebih baik lagi jika masyarakat mampu menjadi masyarakat yang kritis dengan langsung memberi feedback / komentar di media-media yang melenceng dari paham jurnalistik tersebut karena media online sangat memungkinkan adanya komunikasi 2 arah antara media dan pembaca. Dengan begitu, media menjadi paham betul bahwa berita mereka bukanlah berita yang dicari dan sesuai dengan keinginan pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H