Mohon tunggu...
Inovasi

Mengenal Lebih Jauh Mengenai Hate Speech dan Prakteknya di Dunia Maya

15 April 2016   09:06 Diperbarui: 15 April 2016   09:23 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berkembangnya teknologi tentu berimbas besar pada banyak aspek lain di kehidupan manusia. Salah satunya adalah media informasi dan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa melalui media lah masyarakat bisa saling bertukar informasi. Kecepatan dan keakuratan informasi yang diterima tentulah bergantung pada teknologi yang menghubungkannya. Oleh sebab itu, saat internet mulai marak digunakkan, maka teknologi penyebaran berita dan informasi pun mulai muncul.

Adalah majalah TIME yang menuliskan kebangkitan internet di tahun 1995. Apa yang ditulis di situ menunjukkan bahwa internet siap untuk mengubah cara pandang dan cara kerja masyarakat di dunia. Terlebih dari itu, dengan sistem aksesnya yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, internet mampu mengalahkan pamor dua jenis media sebelumnya, yakni media cetak dan media penyiaran. Dengan adanya internet, masyarakat tak perlu lagi menunggu-nunggu hari esok untuk mendapatkan informasi baru melalui media konvensional. Tulisan tersebut juga meramalkan bahwa perkembangan teknologi dan internet pasti akan diikuti dengan berkembangan alat-alat komunikasi seperti laptop, tablet, smartphone, dan lain sebagainya yang akan membantu masyarakat untuk mengakses informasi (Allan, 2006).

Di Indonesia pun, jurnalisme online juga tidak terlalu tertinggal secara jauh perkembangannya dengan negara lain. Hal ini terbukti sejak tahun 1994, jurnalisme online telah masuk ke Indonesia melalui Harian Republika yang memiliki laman online pertama dengan alamat www.republika.co.id. Setelahnya, berturut-turut media seperti tempo.co, waspada.co.id, dan kompas.com juga turut menyemarakkan jurnalisme online di Indonesia hingga tahun 1997. Di awal-awal kemunculannya, isi konten media online ini masih sama dengan apa yang ditulis dalam versi cetaknya. Hingga pada tahun 1998, munculah detik.com yang merupakan media online murni tanpa induk media cetak ataupun siar. Tanpa dukungan media cetak, seperti media online generasi pertama, detik.com mengenalkan jenis berita baru: ringkas to the point. Kerap, atas nama kecepatan, berita detik.com tidak selalu lengkap dengan unsur 5W + 1H layaknya pakem baku jurnalistik. 

Bagi jurnalisme online, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat mengakses berita secara cepat, sehingga menomorduakan faktor-faktor wawancara ataupun verifikasi data (Margianto&Syaefullah, tt). Selepas krisis moneter tahun 1998, geliat ekonomi Indonesia perlahan mulai bangkit dari beragam sektor. Di tahun 2003, situs-situs internet lain pun mulai masuk karena banyaknya investor yang berminat dan melihat peluang di dalam sektor tersebut. Kali ini bukan dalam ranah jurnalisme saja namun juga dalam taraf hiburan seperti kapanlagi.com, kaskus.co.id yang juga dapat digunakkan sebagai forum diskusi. Bahkan hingga tahun 2016 ini, tercatat situs online bertema informasi dan hiburan non jurnalisme menjadi bisnis yang menjanjikan (Margianto&Syaefullah, tt). Hal ini menunjukkan bahwa siapapun memiliki peluang yang sama untuk menyebarkan informasi dan berita melalui internet. Melalui internet pula, praktek citizen journalism mulai marak diminati karena internet dinilai dapat menghubungkan media dengan pembaca secara lebih terarah melalui feedback yang timbal balik.

Namun sayangnya, karena banyaknya pihak non jurnalistik yang memiliki kapasitas untuk membagikan informasi dan berita, masyarakat Indonesia pun menjadi kebanjiran informasi. Mereka mulai mengalami kesulitan untuk melakukan filter pada berita mana yang patut dipercaya dan berita mana yang hoax dan dibuat hanya untuk kepentingan salah satu pihak saja. Simpang siur berita inilah yang dapat dijadikan celah untuk memfitnah  pihak-pihak tertentu. Sebagai contohnya, dengan mudahnya pembelian domain dan akses yang terbuka pada internet, kini siapa saja seakan bisa memiiki website tersendiri di internet dan mengklaimnya sebagai portal berita online. Namun belum tentu isi dari website mereka bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya seperti yang tertulis dalam Pasal 1 Hukum Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi:

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran:

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

(Dewan Pers, 2011).

 Peraturan tersebut berlaku bagi seluruh jenis media baik media cetak, media penyiaran, dan juga media online. Namun, kurang terkontrolnya laju perkembangan media online membuat para pengguna internet kembali lagi pada poin di atas yakni menggunakan internet dan media online sebagai sarana menebar kebencian. Sebagai contoh, pada waktu Pilpres 2014 kemarin, banyak situs internet berkedok media online dengan sangat gamblang memojokkan salah satu calon Presiden dengan berita bohong yang ditulisnya. Hal itu bertujuan untuk menghilangkan simpati rakyat pada calon tertentu dan serta merta membuatnya kalah dalam pemilihan. Semakin berkembang dari waktu ke waktu, praktek tersebut berkembang luas untuk memojokkan salah satu pihak. 

Praktek itu pada akhirnya dirumuskan menjadi praktek hate speech yang menurut surat edaran Polri No. SE/6/X/2015 berarti sebuah ujaran kebencian dalam bentuk tindak pidana yang dapat ditemui dalam praktek penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet (Firdaus, 2015).

Contoh hate speech dalam kasus Pilpres 2014 tersebut menimpa Jokowi yang dikatakan oleh portal berita PKS Piyungan dengan alamat portalpiyungan.com. Portal tersebut mengunggah sebuah foto obituari kematian Jokowi lengkap dengan nama istri dan anak-anaknya. Selain itu, fitnah nomor dua yang ditunjukkan dalam foto itu adalah adanya nama Tionghoa Jokowi yang disematkan dalam foto itu dengan nama Oey Hong Liong. Padahal, Jokowi sama sekali bukan berasal dari ras Tionghoa. Berita bohong seperti itu dianggap hate speech karena merendahkan derajat orang lain dan memojokkan orang tersebut (Assegaf, 2014).

Lain PKS Piyungan, lain pula dengan portal VOA Islam. Mengusung jargon berbunyi voice of truth, portal ini memberitakan pemberitaan tentang kaum LGBT tidak dengan bahas jurnalistik dan terkesan sebagai kalimat opini dengan kata-kata tak terpuji. Dalam pemberitaan berjudul Tokoh Gay Dede Oetomo Ingin Legalkan Kawin Sejenis, terdapat sebuah kutipan dengan kata-kata “…Bahkan, gilanya lagi ia pernah bercita-cita untuk mendirikan partai politik, khusus kaum gay, lesbi, banci dan manusia sampah lainnya,” (voa-islam.com, 2012). Kata-kata “manusia sampah” itu tentu tak layak dan tak akan masuk proses editing media konvensional seperti cetak dan penyiaran, namun hal ini dapat begitu saja diakses masyarakat di internet karena sulitnya menerapkan filter dan mengontrol praktek hate speech seperti itu.

Ditilik dari modusnya, hate speech tidak hanya disebar oleh portal berita yang tidak independen tetapi juga melalui akun-akun sosial media. Di ranah sosial media, para pelakunya rata-rata tidak menunjukkan identitasnya dan hanya muncul sebagai anonim saja. Dari situ, muncul juga sebuah dugaan bahwa akun-akun anonim sosial media tersebut merupakan akun “ternakan” atau akun yang didalangi hanya oleh satu orang dari portal berita itu yang ditujukkan untuk semakin menyebarluaskan hate speech tidak hanya di taraf website tetapi juga masuk ke ranah sosial media yang diakses lebih sering oleh netizen.

Dikutip dari Mirabito pada 2004, paling tidak ada 12 ribu pengguna internet yang menjadi korban dari praktek hate speech yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender. Nyatanya, perkembangan internet ternyata berbanding lurus dengan peningkatan terror di dunia maya. Cepatnya informasi yang dibawa teknologi berjalan dan berkembang, ternyata belum mampu dibarengi oleh kemampuan masyarakat yang menyaring informasi yang diterima. Mereka malah cenderung langsung mengartikan secara mentah-mentah dari paham kebebasan berpendapat yang menandakan bahwa setiap orang bebas berbicara tentang apapun mengenai siapapun. Kemudahan yang ditawarkan justru belum mampu ditanggapi secara dewasa oleh masyarakat dengan tidak menghargai perbedaan dan kepentingan orang lain.

Pemerintah sudah mengambil langkah tepat dengan mengeluarkan surat edaran (SE) yang akan menindak tegas para penyebar hate speech, namun itu tentu tidak bisa serta merta menghentikan praktek jahat tersebut. Diperlukan kesadaran dari masyarakat sebagai obyek tujuan praktek tersebut untuk membuka wawasan dan menambah edukasi mereka mengenai alur informasi dan berita yang berkembang di sekitar mereka.

Masyarakat haruslah paham berita mana yang dipercaya dan berita mana yang merupakan isapan jempol semata. Selain itu, berita hate speech yang salah satunya memiliki tujuan adu domba, tidak akan berhasil jika masyarakat tidak mudah tersulut emosinya dan percaya pada satu sumber saja. Jika media online belum mampu mengedepankan paham verifikasi bahan berita, paling tidak masyarakat seharusnya paham untuk melakukan check and recheck pada berita yang mereka baca.

Salah satu caranya adalah dengan mencari sumber sebanyak-banyaknya mengenai suatu berita agar masyarakat dapat mengerti duduk persoalan dari berbagai pihak dan tidak memutuskan sesuatu persoalan dari satu sudut pandang saja. Alangkah lebih baik lagi jika masyarakat mampu menjadi masyarakat yang kritis dengan langsung memberi feedback / komentar di media-media yang melenceng dari paham jurnalistik tersebut karena media online sangat memungkinkan adanya komunikasi 2 arah antara media dan pembaca. Dengan begitu, media menjadi paham betul bahwa berita mereka bukanlah berita yang dicari dan sesuai dengan keinginan pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun