Royyan Zuhdi Arrifqi
181910501036
Fakultas Teknik/Universitas Jember
Indonesia merupakan negara dengan lebih dari lima belas ribu pulau yang terbagi dalam beberapa rumpun pulau besar. Pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Pulau Jawa dengan lebih dari setengah populasi Indonesia. Kepadatan ini juga disebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga mendorong perpindahan penduduk atau arus transmigrasi yang besar ke Pulau Jawa. Ketersediaan infrastruktur yang memadai menjadi daya tarik terbesar bagi masyarakat untuk tinggal di Pulau Jawa.
Kemudahan dalam mengurus administrasi pemerintahan juga menyebabkan banyak investor kemudian menanamkan modal di Pulau Jawa. Penyebab lain dari semakin padatnya Pulau Jawa ialah letak ibukota negara yang juga terdapat di pulau jawa, hal ini tentu menyebabkan kesenjangan ekonomi di pulau pulau lain yang memiliki jarak relatif jauh dari Pulau Jawa. Kepadatan tertinggi di Pulau Jawa berada di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) yang merupakan Kawasan ibukota dengan jumlah penduduk lebih dari setengah penduduk di Pulau Jawa dengan jumlah tiga puluh dua juta lebih penduduk. Kondisi ini menyebabkan wilayah terbangun menjadi bertambah dan tidak diimbangi dengan tersedianya ruang terbuka hijau, kondisi ini tentu tidak baik bagi pusat pemerintahan.
Problematika ibukota yang begitu komplek mulai dari terbatasnya ruang terbuka, kemacetan hingga banjir yang terjadi setiap tahunnya menjadikan Jakarta tidak lagi memenuhi kemampuan sebagai pusat pemerintahan. Selain itu, setiap tahunnya Jakarta mengalami penurunan muka tanah akibat beban yang semakin besar dari pembangunan Gedung tinggi, infrastruktur jalan dan beban kendaraan di atas (truk truk besar) serta pemompaan air tanah secara besar -- besaran dan tidak terkendali (rumah tangga, gedung, dan kawasan industri). Pengamat dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan penurunan muka tanah di Jakarta memang terjadi karena faktor alami dimana permukaan tanahnya cukup lunak sehingga secara alami tetap akan mengalami penurunan tanah secara perlahan lahan. Dengan rentang penurunan antara delapan sampai dua puluh empat sentimeter setiap tahunnya. Sedangkan permukaan air laut naik dua sampai empat sentimeter per tahun.
Permasalahan lain yang hingga kini masih belum bisa teratasi ialah kemacetan. Problematikan lawas ini sungguh menjadi beban terbesar bagi ibukota negara. Aksebilitas yang begitu minim membuat pertumbuhan ekonomi bisa saja terhambat dan mengakibatkan kerugian bagi negara. Bahkan setiap harinya masyarakat Jakarta harus menghabiskan hampir seperempat aktivitasnya di jalan karena terjebak kemacetan. Kemacetan juga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, gas emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan menjadi penyebab pencemaran udara. Sampah juga turut menjadi permasalahan yang kini harus dihadapi oleh Jakarta.
Setiap harinya ada tujuh ribu ton sampah yang dihasilkan oleh pemukiman dan perkantoran di ibukota. Sistem pengelolaan sampah yang tidak sesuai dengan kriteria menyebabkan banyak sampah yang tidak bisa diolah dan bahkan ada beberapa yang berakhir di saluran irigasi dan sungai. Akibat banyaknya sampah yang tidak terkendali menimbulkan bau tidak sedap dan lebih parah lagi, sampah menjadi penyebab terjadinya banjir di setiap tahunnya di Jakarta. Semakin padatnya pemukiman sehingga saluran irigasi menyempit ditambah adanya sampah yang dibuang di saluran irigasi.
Dengan semua permasalahan seperti ini maka langkah pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke tempat yang lebih layak tentu merupakan alternatif yang bisa diambil sebagai solusi masa depan Indonesia. Pemindahan ibukota ini juga berkaca dari pengalaman negara lain yang memindahkan ibukota ke wilayah baru. Seperti Brazil yang memindahkan ibukotanya dari Rio De Janiero ke Brazilia pada tahun 1960. Pemerintah Brazil memulai pemindahan ibukota pada tahun 1956.
Pada saat itu, Brazilia belum memiliki sarana penunjang yang memadai sebagai ibukota, Perdana Menteri Brazil untuk Indonesia Rubem Barbosa menyampaikan bahwa belum ada akses transportasi mulai jalan raya hingga rel kereta api menuju Brazilia dari ibukota lama yakni Rio De Janiero pada awal proses perpindahan ibukota tersebut. Pemerintah Brazil memang memulai perpindahan ibukota tersebut dari nol karena memang Rio De Janiero berkembang terlalu cepat sehingga tidak bisa mengakomodasi pemerintahan lagi.
Selain itu, Tujuan Pemerintah Brazil memindahkan ibukota untuk memperbaharui kebanggaan nasional masyarakatnya dengan memiliki ibukota modern pada abad ke -- 21, meningkatkan kesatuan nasional dengan pembukaan lahan baru yang terletak di tengah negaranya dan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi di Brazil. Tidak hanya meratakan ekonomi, pemindahan ibukota Brazil juga bertujuan untuk meratakan persebaran penduduk.
Perpindahan ibukota ini tentu menuai banyak respon dari segala lini masyarakat Indonesia, mulai dari pihak yang mendukung maupun menolak keputusan yang dibuat oleh pemerintah tersebut. Bahkan beberapa anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang pemindahan ibukota. Banyak yang mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam proses pemindahan ibukota, terutama soal perizinan dan prioritas pembangunan pemerintah yang dinilai salah sasaran dan terkesan gegabah.
Salah satu pihak yang kontra terhadap perpindahan ibukota adalah wakil ketua DPR RI, Fadli Zon yang menanggapi bahwa perpindahan ibukota merupakan wacana yang belum bisa dijadikan rencana, beliau mengatakan bahwa perlu adanya jajak pendapat kepada masyarakat perihal pemindahan ibukota. Urgensi dari perpindahan ibukota juga dipertanyakan oleh beliau kepada Presiden Joko Widodo atas pengumuman rencana pemindahan ibukota. Selain itu, ada ketua dewan kehormatan PAN, Amien Rais yang menyampaikan ketidak setujuannya dengan rencana pemindahan ibukota karena dinilai tidak memiliki manfaat terhadap negara.
Sedangkan dari pihak yang mendukung perpindahan ibukota diantaranya Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas'ud yang mengatakan bahwa rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota negara merupakan bentuk implementasi sila kelima Pancasila yakni pemerataan ekonomi di Indonesia. Hal ini berdasarkan tinjauan lokasi Kabupaten Penajam Paser Utara yang berada di tengah tengah wilayah Indonesia. Dan pendapat lain dari Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Mahfud MD, menyatakan bahwa pernyataan pemerintah untuk memindahkan ibukota tidak cacat hukum dikarenakan dalam penentuan kebijakan yang sifatnya opsional seperti rencana pemindahan ibukota ialah presiden, sehingga tidak ada peraturan yang mengharuskan pembuatan undang undang sebelum rencana pemindahan ibukota. Melainkan undang undang bisa dibuat atau melakukan revisi terhadap undang undang lama bersamaan dengan proses pemindahan ibukota secara resmi.
Opsi wilayah baru ibukota negara telah dipastikan oleh pemerintah terletak di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang terletak di provinsi Kalimantan Timur. Lokasi rencana ibukota paling luas terdapat di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sisanya di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kabupaten Penajam Paser Utara memiliki luas sebesar 3.333 Kilometer persegi, meskipun memiliki luas yang lebih besar daripada daerah ibukota Jakarta, penduduk Kabupaten Penajam Paser Utara tidak lebih dari jumlah penduduk sebuah Kecamatan di Kota Surabaya yang hanya sebesar 168.000 jiwa saja. Kabupaten Penajam Paser Utara bersebelahan dengan Kota Balikpapan yang merupakan ibukota dari provinsi Kalimantan Timur.
Penajam Paser Utara sebenarnya merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Pasir (sekarang lebih dikenal dengan Paser). Kemudian, ada inisiatif dan prakarsa sejumlah masyarakat di wilayah utara Kabupaten Paser untuk memperoleh kehidupan yang lebih aman, Makmur dan sejahtera maka diputuskan untuk mengajukan pemekaran kepada pemerintah pusat dan DPR RI. Akhirnya setelah menempuh perjuangan yang Panjang, pemerintah pusat menetapkan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai kabupaten ke -- 13 di Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang -- undang nomor 7 tahun 2002.
Penunjukan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai calon ibukota baru berdasarkan Aksebilitasnya yang terbantu dengan adanya bandara standar internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan. Selain itu letak Kabupaten Penajam Paser Utara berada di pesisir sehingga akses bagi transportasi laut bisa langsung masuk ke wilayah ibukota. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara sudah dimanfaatkan sebagai lahan tanam kelapa sawit oleh masyarakatnya. Dengan taksiran biaya pembangunan sebesar 466 trilliun, biaya ini akan pemerintah ambil dari beberapa sumber pendanaan mulai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha) dan Swasta.
Kriteria lain yang mendukung terpilihnya Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai lokasi ibukota baru ialah kecilnya resiko bencana yang terjadi disana. Menurut Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, sekalipun wilayah bakal ibukota baru tergolong bebas bencana tapi tidak sepenuhnya terbebas dari gempa, beliau mengatakan ada tiga sesar yang berada di wilayah Kalimantan timur yaitu, sesar maratua, sesar mangkalihat dan sesar paternostes.
Dua diatara tiga sesar ini terdeteksi masih memiliki aktivitas kegempaan yang cukup tinggi dan membentuk klter sebaran pusat gempa yang berarah ke barat sampai timur. Faktor lain yang mendasai pemilhan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai lokasi ibukota ialah Secara historis, kerajaan pertama yang berdiri di Indonesia yakni Kutai Kartanegara terletak di Provinsi Kalimantan Timur. Faktor ini sebagai pengingat bahwa dulunya di Indonesia terdapat kerajaan yang berkuasa di tengah tengah wilayah Indonesia dan berhasil mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H