Mohon tunggu...
Roy Widya Pratama
Roy Widya Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Partikelir

Tumbuhkan negeri, melalui aktivitas literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cinta yang Dipaksakan

24 Desember 2022   10:25 Diperbarui: 24 Desember 2022   10:33 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari situs https://al-waie.id/opini/komunisme-ideologi-berbahaya/

Menurut anda, mengapa Komunisme hancur lebih cepat daripada yang diperkirakan para pakar? Menurut saya, komunisme ternyata adalah “cinta yang dipaksakan” dan sosialisme adalah “cinta palsu”. Alangkah nikmatnya makan pecel lele, tetapi lain soal kalau dipaksa: itu namanya “dicekoki”. Menurut beberapa orang yang saya temui—yang sudah berumahtangga—bahwa menurut mereka setiap suami-istri susah menemukan kata untuk menggambarkan betapa asyik masyuknya ber-honeymoon, tetapi kalau diperkosa, kan, sakit. Mungkin itu sebabnya pengantin di Jawa Timur mengenal fase gak wawuh atau juthakan barang satu dua minggu sesudah pernikahan. Di samping malu untuk ber-glasnost ria, fase itu berguna untuk menghindarkan pemaksaan. 

Tuhan pun tak hobi melakukan pemaksaan. Kita tak bisa menerapkan demokrasi dengan cara memberi pengumuman: “Barang siapa tidak menganut Demokrasi Pancasila, akan saya petrus!”—misalnya. 

Akan tetapi, itulah yang terjadi dengan watak perpolitikan negara-negara komunis di Eropa Timur ketika menerapkan perekonomian sosialisme yang sebenarnya mengandung cinta kasih kemanusiaan. Rakyat dikurung bagaikan ayam leghorn yang baru boleh keluar kandang nanti sesudah berusia 60 tahun ke atas, kecuali dia “kader partai” yang tepercaya. “Kalian tak usah banyak bicara. Ikut saja apa kata partai, yang penting sandang pangan papan beres ala kadarnya!”—dan setiap orang antre untuk memperoleh sekerat daging dan seiris roti, tak bisa beli jins atau rokok Marlboro, di seluruh negeri hanya ada satu merek mobil yang butut dan jalan maksimal 60 Km/jam—sementara para pimpinan bersepatu mutiara, pakai limusin segemerlap lantai kerajaan Nabi Sulaiman, diam-diam menikmati video blue movie sambil nggayemi kepala penduduk.

Cinta palsu tak terkira-kira. Bilangnya ini negeri milik the twin brothers—kaum buruh dan petani—tetapi tanah air di seantero Eropa Timur kini malah memelopori “Gerakan Petrus Internasional”: betapa banditnya pun si nanas Noriega, tetapi kita tetap terikat aturan main konstitusional untuk menempelengnya. Si George Bush adalah cinta palsu yang lain sehingga Anda boleh berteriak: “Bush-Shit!”

Pemerintah Komunis bicara tentang kasih sayang sosialisme yang katanya mengandalkan prinsip pemilikan bersama, padahal itu pengatasnamaan rakyat oleh sekelompok “pamong nagari”. Sosialisme lahir untuk menolak eksploitasi manusia oleh manusia, kelompok oleh kelompok, kelas oleh kelas—padahal itu justru yang diterapkan. Sambil mengerahkan gali ke seantero kampungnya serta nglurug [3]kampung-kampung sekitarnya, Stalin berkoar, “Tak ada lagi penindasan antarbangsa, tak ada inequality pada level apa pun, tak ada antitesis antara kota dan desa, atas dan bawah, atau pusat dan pinggiran. Inilah kesetiakawanan dan koperasi.”

Dan, ratusan lagi jargon-jargon cinta palsu. Penguasa komunis bahkan bertutur nyaring pula tentang demokrasi: kehidupan sosial, sistem politik, dan formasi ekonomi yang hendak mereka capai berlandaskan demokrasi aktif dalam pembangunan. Untuk itu telah disediakan berbagai model training, briefing, penataran lengkap dengan “juklak” dan “juknisnya”. Barang siapa menolak, di jidatnya akan digoreskan cap “kapitalis”, “kanan”, “borjuis”. Kesenian, dari sastra hingga “Gareng-Petruknya” komunisme, dititipi “misi pembangunan”.

Cinta palsu. False, Inggris-nya. False dan fulus, Arab-nya. Susahnya di sini setiap orang justru mengejar fulus.

Sebetulnya ideologi-ideologi di atas merupakan pengejewantahan dari entitas pengetahuan. Di mana untuk memberikan kualifikasi baik atau buruk tergantung studi metodologisnya. Ideologi-ideologi tersebut menjadi buruk karena kesalahan penerjemahan oleh manusia secara praktikal. Tapi faktanya, ketika Uni Soviet menerapkan komunisme sesuai kemauannya, kini pandangan komunisme ikut buruk. Padahal komunisme akan tetap sebagai komunisme yang hakikat entitasnya adalah salah satu pengetahuan.

Sama seperti Demokrasi di Indonesia, apa yang bisa dijadikan parameter dari ideologi demokrasi? Tidak lain adalah implementatornya. Kalau implementatornya menerapkan demokrasi secara baik, maka ideologinya akan ikut dianggap baik. Kalau implementatornya cuma apen-apen menerapkan demokrasi, maka demokrasi dianggap sebagai ideologi yang medioker.

Dalam hal ini saya tidak sedang mempersoalkan apakah hal ini merupakan kekuatan atau kelemahan, apakah baik atau buruk, benar atau salah, menggiurkan atau menjengkelkan. Saya hanya ingin mengemukakan bahwa kita tak pernah punya keberatan apa pun untuk—umpamanya—mengakomodasikan paham demokrasi. Namun, itu tidak berarti bahwa penerimaan itu telah mengubah kita menjadi “manusia dengan cita-cita demokrasi” meskipun di sebagian kalangan masyarakat kita bukan tak ada upaya untuk memproses diri menjadi “manusia demokratis”.

Akan tetapi, secara keseluruhan “watak besar” kita adalah “manusia pesolek”. “Bangsa pesolek”. Kerajaan kulturalisme kita tidak pernah cukup tolol untuk serta-merta mengangkat tamu yang bernama demokrasi itu menjadi raja. Kita menerima demokrasi untuk kita jadikan penggawa atau pegawai yang harus senantiasa menyesuaikan atau menyubordinasikan diri pada seluruh tatanan agung kulturalisme adiluhung kita.

Demokrasi adalah permata impor yang sangat menarik hati untuk dipasang sebagai aksesori budaya, lipstik di bibir, warna-warni kosmetika wajah, serta aroma di ketiak dan di selangkangan. Jargon nasional kita untuk itu sangat gamblang:

Demokrasi kita bukan sembarang demokrasi, bukan demokrasi liberal dan bukan apa pun saja lainnya, melainkan demokrasi yang kita sesuaikan dengan budaya warisan nenek moyang kita sendiri.”

Catatan diksi:

1. Gak wawuh: tidak bertegur sapa satu sama lain

2. Petrus adalah akronim dari penembakan misterius

3. Nglurug: menyerbu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun