Akan tetapi, secara keseluruhan “watak besar” kita adalah “manusia pesolek”. “Bangsa pesolek”. Kerajaan kulturalisme kita tidak pernah cukup tolol untuk serta-merta mengangkat tamu yang bernama demokrasi itu menjadi raja. Kita menerima demokrasi untuk kita jadikan penggawa atau pegawai yang harus senantiasa menyesuaikan atau menyubordinasikan diri pada seluruh tatanan agung kulturalisme adiluhung kita.
Demokrasi adalah permata impor yang sangat menarik hati untuk dipasang sebagai aksesori budaya, lipstik di bibir, warna-warni kosmetika wajah, serta aroma di ketiak dan di selangkangan. Jargon nasional kita untuk itu sangat gamblang:
“Demokrasi kita bukan sembarang demokrasi, bukan demokrasi liberal dan bukan apa pun saja lainnya, melainkan demokrasi yang kita sesuaikan dengan budaya warisan nenek moyang kita sendiri.”
Catatan diksi:
1. Gak wawuh: tidak bertegur sapa satu sama lain
2. Petrus adalah akronim dari penembakan misterius
3. Nglurug: menyerbu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H