Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk [form]. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya.
Pada masa Jaman Pencerahan, pembangkitan kembali semangat kemanusiaan, ketidakpuasan terhadap logika Aristotelian meluas dengan cepat. Terjadilah satu peningkatan reaksi melawan Aristoteles, yang sesungguhnya tidak adil terhadap pemikir besar ini, tapi sesungguhnya berakar dari fakta bahwa Gereja telah menindas segala yang berharga dalam filsafatnya, dan memelihara karikatur yang tak bernyawa dari filsafat yang sangat tinggi nilainya itu. Bagi Aristoteles, silogisme hanyalah satu proses dalam tata berpikir, dan tidak harus juga menjadi bagian yang terpenting darinya. Aristoteles juga menulis tentang dialektika, dan tapi aspek ini dilupakan. Logika dilucuti dari segala kehidupan yang dimilikinya dan diubah, mengutip Hegel, menjadi "tulang-tulang tak bernyawa."
Penolakan terhadap formalisme tak bernyawa ini tercermin dalam gerakan terhadap empirisisme, yang membuahi janin penyelidikan dan percobaan ilmiah. Walau demikian, mustahillah untuk sama sekali mengabaikan sama sekali satu bentuk pemikiran, dan empirisisme telah sejak kelahirannya membawa benih-benih kehancurannya sendiri. Satu-satunya alternatif yang berharga untuk metode berpikir yang penuh kekurangan dan tidak tepat ini adalah dengan mengembangkan metode yang tepat dan tanpa kekurangan.
Di akhir Abad Pertengahan, silogisme telah sama sekali dipermalukan di mana-mana, dan dihinakan dan dilecehkan. Rabelais, Petrach dan Montaigne, semua menyangkal kebenaran silogisme. Tapi silogisme masih terus bertahan, terutama di negeri-negeri Katolik, yang tidak tersentuh oleh badai yang ditiupkan oleh Reformasi Protestan. Di akhir abad ke-18, logika berada dalam keadaan yang demikian buruk sehingga Kant merasa berkewajiban untuk meluncurkan satu kritik umum terhadap bentuk-bentuk cara berpikir lama dalam bukunya Critique of Pure Reason.
Hegel adalah orang pertama yang menempatkan hukum-hukum logika formal ke dalam analisis yang sepenuhnya kritis. Di dalam analisis ini ia menyempurnakan kerja yang telah dimulai oleh Kant. Tapi di mana Kant hanya menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kontradiksi yang terkandung di dalam logika tradisional, Hegel maju lebih jauh, menguraikan satu pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap logika, satu pendekatan dinamis yang akan memasukkan pergerakan dan kontradiksi ke dalam logika, dua hal yang tidak sanggup ditangani oleh logika formal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H