Indonesia adalah salah satu negeri yang memiliki budaya dan suku bangsa yang beragam yang menjadi pemicu sikap intoleran di indonesia. SeÂbab, banyak kasus intoleransi yang terjadi di negara indonesia dikarenakan sifat yang ekslusif terhadap keberagaman yang memanipulasi persatuan bangsa ini. Memanipulasi keberagaman demi memunculkan sikap intoleransi untuk kepentingan pribadi mauÂpun golongan.Â
Situasi yang terjadi marak ini harus segera diselesaikan dari akarnya, jika tidak hiraukan dapat menjadi bom waktu yang dapat yang menyerang kapan saja keutuhan bangsa ini. Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini tetapi salah satu cara yang sederhana yang dapat dilakukan oleh masyarakat indonesia melalui peranan keluarga inti yang menanamkan jiwa toleransi secara radikal sejak kecil kepada anak-anak.Â
Melihat peranan penting dari keluarga inti sangat berpengaruh sebagai proses terbentuknya sosialisai anak sejak dini sangat bagus sebagai proses belajar mengenal perdamaian sejak dini. Pendidikan perdamaian di keluarga inti suatu usaha yang kompleks karena mengandung berbagai tujuan yakni untuk menumbuhkan komitmen, menanamkan rasa cinta akan kedamaian, sampai memampukan anak untuk melakukan analisis kritis dan menyelesaikan konflik dengan cara damai sehingga mereka layak disebut sebagai agen perdamaian usia dini.Â
Pendidikan perdamaian di keluarga disebut menyeluruh karena tidak hanya meliputi masalah relasi antar manusia, tetapi juga masalah relasi manusia dengan lingkungan, serta mencakup tidak hanya hal-hal kognitif, tetapi juga afektif, dan psikomotorik. Pendidikan perdamaian yang ada di tengah keluarga inti sesungguhnya lebih efektif jika diterapkan pada anak-anak.Â
Fase sosialisasi primer saat pembentukannya fondasi yang dimiliki anak, serta waktu pembelajaran sedini mungkin membuat nilai-nilai perdamaian lebih mudah mengakar dan menjadi fondasi yang kuat bagi pertumbuhannya sebagai calon pembawa damai di masa mendatang nanti. Oleh sebab itu, orang tua perlu berhati-hati dan menyesuaikan perkembangan anak saat menerapkannya pedidikan perdamaian sejak usia dini.
Intoleransi memiliki baÂnyak pengertian ilmiah menurut pendapat berÂbagai tokoh maupun literatur.Tapi menurut pengertian yang sederÂhaÂna, Intoleransi adalah ketidakbersiapan seseorang atau sekelompok orang untuk menerima perbedaan yang ada dalam diri orang lain atau kelompok lain. Intoleransi di Indonesia terus menunjukÂkan peningkatan dari tahun ke tahun. Intoleransi sudah meluas daÂlam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dari sabang sampai merauke serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Keprihatinan dan Ironi
Tingginya angka Intoleransi terlihat di Indonesia menÂjadi sebuah keprihatinan dan ironi. Berdasarkan catatan Lembaga Survei Indonesia (LSI) (www.cnnindonesia.com, 03 November 2019) menyatakan intoleransi masyarakat pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo masih cukup tinggi. Hal itu berdasarkan survei LSI tentang 'Modal dan tantangan kebebasan sipil, intoleransi dan demokrasi di pemerintahan Jokowi periode kedua pada 8-17 September 2019 terhadap 1.550 responden.
Dari penelitian yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pertama, Kurang lebih 2,5 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen dari hasil survei dilakukan dengan wawancara secara langsung. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan belum ada upaya nyata dari pemerintah memperbaiki intoleransi beragama dan berpolitik. Mengacu pada pernyataan Direktur Eksekutif LSI sangat memprihatinkan sekali akan kesadaran masyarakat terhadap sikap yang toleran, ini bukan sepenuhnya tugas yang harus diemban pemerintah tapi kesadaran masyarakat indonesia yang harus lebih peka akan toleransi beragama dan berpolitik di NKRI.
Kedua, membeberkan hasil survei LSI Sebanyak 59,1 persen responden warga Muslim intoleran atau keberatan jika warga nonmuslim menjadi presiden lebih dari setengah warga nonmuslim.Ketiga, Keberatan nonmuslim menjadi wakil presiden sekitar 56,1 persen, Keempat, 52 Keberatan nonmuslim menjadi gubernur sekitar 52 persen, dan Kelima, Keberatan nonmuslim menjadi bupati/wali kota sekita 51,6 persen.Â
Djayadi mengatakan 53 persen warga Muslim keberatan jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya. Sebanyak 36,8 persen yang tidak keberatan banyak jumlah warga Muslim yang keberatan akan memperkeruh suasana keadaan intoleransi ssat inis dan berdasarkan data LSI dan Wahid Institute warga muslim semakin intoleran terhadap nonmuslim dalam hal politik, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan dalam empat tahun terakhir belakanagan ini.
Sedangkan Intoleransi religius-kultural cenderung turun sejak 2010, namun penurunan ini berhenti di 2017. Setelah 2017 intoleransi religious-kultural cenderung meningkat terutama dalam hal pembangunan rumah ibadah. Di sisi lain, Djayadi menyampaikan sikap intoleran kalangan Muslim di era Jokowi juga tampak dalam hubungan antara mayoritas dan minoritas survei memperlihatkan 37,2 persen responden muslim setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan muslim mayoritas.Â
Djayadi menyampaikan mayoritas responden warga nonmuslim tidak keberatan jika warga Muslim menjadi kepala pemerintahan di level daerah maupun nasional. Responden nonmuslim, kata dia, juga tidak keberatan jika warga muslim membangun tempat ibadah atau mengadakan acara keagamaan di sekitar tempat tinggalnya.

Peranan Keluarga
Mencegah intoleransi memang sulit tetapi banyak hal yang dapat kita lakukan. Salah satu cara yang paling efektif adalah meÂlalui peranan keluarga. Keluarga meÂrupakan lembaga pendidikan yang perÂtama dan utama dalam maÂsyarakat. KeÂluarga akan selalu mempengaruhi tumÂbuh berÂkemÂbangnya watak, budi pekerti dan kepribadian tiap-tiap manusia.
Peranan keluarga memang sangat perlu dan terutama dalam mengatasi intoleransi. Contohnya, peranan orangtua yang tiÂdak memÂbiasakan anaknya untuk menghargai keberagaman yang ada di sekitar mereka akan merusak karakter toleransi yang harusnya sudah tertanam sejak kecil. Dalam hal ini, penting bagi orangÂtua agar meÂngarahkan anaknya hiÂdup saling menghargai dan mengajarkan pentingnya keberagaman sebagai budaya bangsa indonesia. Orangtua juga harus mengÂajarÂkan anaknya bagaiÂmana hidup yang damai dalam perbedaan.
Berangkat dari pemahaman-pemahaÂman ini, maka ada tiga peran yang dapat dilakukan keluarga, yaitu:
(1) keluarga adalah sekolah keberagaman yang paling baik untuk anak khususnya dalam perbedaan pendapat yang sederhana di keluarga dan membiasakan ruang berdialog di keluarga setiap terjadi perbedaan pendapat merupakan proses menciptakan pendidikan perdamaian sejak dini. Ini akan membentuk karakter anak yang memahami keberagaman
(2) keluarga sebagai insÂÂtitusi kontrol perilaku intoleransi anak apabila telah terjadi perpecahan dalam masa perkembangan anak serta mengembalikan keadaan semula dan menjelaskan bahwa sikap yang intoleran bukan cara yang baik menyelesaikan masalah
(3) kumÂpulan keluarga yang menghargai keberagaman akan memÂbentuk tatanan masyarakat yang toleran. Jika ingin mewujudkan toleran dengan baik, maka langkah paÂling efektif adalah dengan memakÂsiÂmalÂkan peranan keluarga, Dengan adanya kesadaran dari peranan keluarga untuk mencegah intoleransi, maka kedepannya kita akan bisa mewuÂjudÂkan negara yang damai dan sesuai UUD 1945.
Mari kita dukung setiap langkah peÂmerintah dengan mewujudkan pentingÂnya peranan keluarga dalam mencegah sikap intoleransi bukti dari bahwa setiap keluarga seÂbagai garda terdepan. Sejatinya, ini bukan haÂnya tugas Pemerintah, Aku, Dan Kamu saja teÂtapi juga tugas kita sebagai Warga Bangsa Indonesia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H